Paman Miko menyadari bahwa anak-anak masih takut. "Coba sentuh dia dan usap-usap kepalanya. Sopiye sapi yang ramah, kok!" dia menyemangati mereka.
Faris akhirnya memberanikan diri untuk menyentuh dan mengusap-usap kepala Sopiye. Perlahan, anak-anak lain mengikutinya, dan segera saja terdengar gelak tawa dan canda.
Karena hari sudah subuh dan matahari sudah mengintip dari balik gunung, anak-anak memutuskan untuk segera bangun dan bersiapsiap untuk perjalanan mereka ke air terjun di gunung.
Tak lama kemudian, aroma lezat tercium dari dapur tempat Bibi Nella yang sedang menyiapkan sarapan pagi.
Dengan Mando dan Pingkan yang juga bergabung bersama mereka, mereka mendiskusikan rencana apa yang akan dilakukan untuk hari itu. Paman Miko mendengarkan dengan penuh perhatian,
"Hati-hati saja, sudah lama sejak terakhir kali aku mengunjungi gunung itu." Dia kemudian menoleh ke arah Mando, "Nak, sewaktu kalian berada di wilayah itu, harap waspada terhadap jerat. Kupikir aku melihat cahaya di atas sana beberapa hari yang lalu. Itu pasti pemburu liar."
Mando mengangguk. "Baiklah, Paman. Kami berencana untuk mengambil rute di sebelah dasar sungai yang kering dan kemudian masuk ke gunung di tebing burung maleo untuk sampai ke tempat yang kami pikir mungkin sebuah gua."
Paman Miko menyesap kopinya, "Aku mendengar cerita tentang gua itu dan pergi mencarinya tetapi tidak pernah menemukannya."
Dia meletakkan cangkirnya kembali di atas meja. "Hati-hati, dan ingatlah gunung-gunung penuh dengan ular saat ini."
Kata 'ular' membuat Pandu duduk tegak.
"Ular! Aku tidak suka ular!" katanya, wajahnya pucat pasi.