di kaki bukit,
ada yang berharap
dalam keheningan
demi secercah kepastian
desa angker
tak seperti anjing matahari atau corona
bagaimana siang hari memandikan kita
lalui leleh jauh
mungkin perlu kutipan
bagaimana enam bulan
seseorang berbisik
bagaimana sehelai benang
pun dapat padami bara api
tak pernah benar berkembang
ku tahu aku pernah miliki harapan
bagai mimpi yang direduksi
jadi sudut dan damar
benih yang tumpah dengan harapan
untuk beristirahat
kutuangkan jelatang
kacau balau ke seluruh organ
tambahlah tonik hingga berbusa
menangkup cairan
hingga tetesku kolosal
tubuh turbulensi
sepanjang malam penuh serangga
sakramen kicauan kecil
keheningan yang terputus-putus
dan keheningan yang terputus-putus menyerah
pada bulan yang memuncak
dengan amarah mentari
lagu baru tentang gelap
tetapi aku juga berpura-pura
apa pun adalah awal
bahkan kabut napasku di pagi hampa
bahkan lekuk kepalaku di cermin kosong
bahkan bulan sabit menggantung di utara
mengait bagai luka di tengkorak
pengangkatan tumor stokastik
aku tak ingat
apa kata astrologi tentangnya
aku tak ingat
bagaimana doa berakhir
bagaimana segenggam dosa
menghalangi surga
tertinggal di sana di hadapan bukit
bagai kuil tanpa pemuja
tlah kunyanyikan banyak lagu
untuk api hingga menyemburkan abu
ke angin pasat
tak tinggalkan motif tersembunyi
aku meleleh
meleleh sadar
di sinilah aku, kondensasi---
atau, bahkan, lidah
menadah tetes hujan pertama
Bandung, 11 September 2025
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI