Garpunya ragu-ragu di atas bola-bola ettawam. Manis sekaligus asam, baru matang di senja hari dari kebun pegunungan. Biasanya sebagai hidangan penutup, namun di ruangan ini, hari ini, Lituhayu akan menjadikannya makanan pembuka. Garpunya bergetar dan dia dengan cepat memasukkan buah itu ke dalam mulutnya.
Sang Pengadil tidak berkedip. Entah itu berarti gigitan ini, atau potongan ini aman. Atau dia tidak berkedip. Lituhayu tidak tahu. Belum.
Buah itu meledak di mulutnya. Dia mengembuskan kabut kuning dengan cepat, masih menunggu kedipan. Atau....
Tidak ada yang terjadi.
Lituhayu menusuk buah lain dan menghabiskan mangkuknya dengan cepat, melahapnya sendirian.
Dia menyeka mulutnya, tangannya lebih mantap sekarang, dan menghapus rasa getirnya dengan meneguk anggur tua secara perlahan, membiarkan rasa manis dan asam bercampur.
"Apakah tidak ada cara lain? Tidak ada ruang untuk kompromi? Perdamaian?"
Apakah Sang Pengadil tidak berkedip, bahkan saat menggelengkan kepalanya?
"Tidak ada sogok menyogok di sini."
Sang Pengadil mengulurkan tangan ke seberang meja yang penuh sesak dan mengambil sepotong amalkon yang masih meneteskan lemak hangat. Dia membiarkan cairan itu mengotori mulutnya, mengalir seperti anak sungai ke janggutnya yang sudah dipangkas rapi.
Lituhayu menggunakan garpunya untuk menusuk potongan di sebelahnya. Gigitan ini adalah gigitan yang sempurna, campuran lemak dan otot yang empuk, lebih lembut dari naggutir panggang.