Ada seorang laki-laki. Bukan, bukan  laki-laki.
Ada seorang pria yang sangat kekanak-kanakan yang menghabiskan musim kemarau yang panas bersama seorang wanita, jatuh cinta, dan mengucapkan selamat tinggal ketika wanita tersebut berangkat untuk mengajar bahasa Indonesia di Korea Selatan. Dia ingat malam-malam mereka di sebuah bar kecil di Braga yang berbau apek oleh asap rokok meskipun larangan merokok di dalam ruangan di Bandung mulai berlaku dua dasawarsa sebelumnya. Dia ingat mereka berbicara tentang pergi dari Bandung, keluar dari Indonesia, ke mana saja yang tidak setiap hari pria itu temukan untuk menyeka busa bir murah dari kumisnya.
Bagaimanapun juga, saat itu adalah musim kemarau yang luar biasa panas. Begitu hebatnya hingga pria dan wanita itu menangis dan berpelukan pada malam sebelum dia pergi. Begitu hebatnya sehingga pria tersebut menepati janjinya untuk berkunjung, membeli tiket pesawat untuk menghabiskan malam Lebaran di Seoul, Korea Selatan. Hanya beberapa bulan lagi.
Lalu wanita tersebut bertemu dengan laki-laki lain, dan pria tersebut patah hati. Dia mengatakan pada dirinya sendiri bahwa dia akan tetap pergi, dan dia melakukannya. Dia mengatakan pada dirinya sendiri bahwa dia tidak akan menemui wanita itu, tapi dia menemuinya.
Mereka bertemu di luar stasiun kereta bawah tanah di Seoul dan berjalan sampai mereka melihat sebuah bar kecil dengan orang-orang merokok di dalamnya. Mereka duduk, memesan bir dan chicken wing, dan mengobrol seperti dulu.
Pria itu bertanya tentang kehidupan barunya dan wanita itu bertanya tentang perjalanannya.
Dia mengatakan bahwa rasanya seperti dia sedang berpetualang, tidur di sofa orang asing, berkeliling kota dengan pria Korea ramah yang dia kenal di media sosial. Mereka terus mengobrol, tapi kekosongan mulai menumpuk, dan wanita itu berkata dia ingin membicarakan apa yang terjadi.
Wanita itu bilang dia tidak bermaksud menyakitinya, tapi sepertinya mereka tidak pernah berjanji untuk saling setia. Mereka mengalami musim kemarau yang panas dan menyenangkan, tapi bukan berarti mereka bertukar cincin pada malam sebelum dia pergi.
Bertahun-tahun kemudian, pria itu akan menyadari bahwa wanita itu benar. Pria itu akan menyadari bahwa dia bersikap kekanak-kanakan, posesif, dan menuntut. Namun pada malam itu, si pria kekanak-kanakan menyeka busa dari kumisnya dan berkata, "Lain kali kalau seseorang membeli tiket pesawat untuk melakukan perjalanan mengeliling setengah bola dunia untuk menemuimu, kamu mungkin harus menyadari bahwa mereka jatuh cinta padamu."
***
Kisah perjalanan tidak pernah dimaksudkan untuk memberi pesan moral. Tidak memberikan instruksi, atau memberikan inspirasi. Tidak menjadi model untuk menemukan diri sendiri, atau memberikan pemahaman terhadap penduduk asli.
Jika sebuah cerita tampak menginspirasi atau membangkitkan semangat, atau bahkan seolah-olah memberi kesan bahwa perubahan sederhana dalam cakrawala panorama memungkinkan pemahaman yang lebih luas tentang diri sendiri atau apa pun, jangan percaya.
Jika di akhir sebuah cerita perjalanan kamu merasa seolah-olah memahami orang-orang dan tujuannya, kamu telah menjadi korban kebohongan mengerikan yang setua Columbus. Oleh karena itu, sebagai aturan baku dan praktis, kamu dapat menceritakan sebuah kisah perjalanan nyata dengan mengakui bahwa peristiwa-peristiwa dalam cerita tersebut bisa saja terjadi di tempat lain di dunia kita yang sudah terglobalisasi. Dunia kita di mana orang Minang yang bepergian dapat menemukan rendang dan sate Pariaman hampir ke mana pun dia pergi. Lihatlah pria dan wanita itu di Seoul.
Mereka makan chicken wing di bar. Mereka bisa saja melakukan percakapan yang sama di tempat lain, namun lelaki kekanak-kanakan itu ingin menemukan arti penting dalam penerbangannya selama tujuh jam lebih melintasi Laut Cina.
Pria kekanak-kanakan itu, di usianya 25 tahun, belum pernah menjalin hubungan hubungan yang seurieus. Dia selalu merasa terasing, ganjil, dan sendirian serta salah menjadikan perjalanan sebagai resep obat penawar kesepiannya. Dia tumbuh dengan membaca cerita para penjelajah dan petualangan mereka di negeri-negeri eksotik.
Di sekolah, guru-guru mengajarinya tentang Marco Polo, Ibnu Batutah, Karl May, Baron Munchausen, dan yang lainnya. Dia membaca tentang Huckelberry Finn yang melakukan arung jeram di Sungai Mississippi, mengikuti arah kicauan serak burung hantu dan bisikan sendu angin. Kenalannya piknik berziarah ke berbagai situs bersejarah dan mengikuti berbagai tradisi meditasi, yang secara praktis menampilkan kembali budaya Sriwijaya dan Majapahit. Bahkan saat ini, blogger perjalanan seperti Kakek Sutiknyo, yang dikenal dengan blog-nya Lost Packer, menulis quote, "Jadilah pejalan dan belajarlah dari perjalanan itu."
Butuh beberapa tahun sebelum pria itu belajar menceritakan kisah perjalanan yang sebenarnya dari kisah yang salah.
Perjalanannya ke Korea Selatan seharusnya memberinya cukup pelajaran. Selama berada di sana, dia berkeliling museum, memesan makanan dengan menunjuk item di menu dalam bahasa yang tidak dia mengerti, bertemu dengan sesama pelancong di bar yang lebih mengepul asap rokoknya, dan bahkan mengunjungi zona demiliterisasi yang memisahkan Korea Utara dan Selatan.
Jika semua ini dimaksudkan untuk menuntunnya pada suatu perjalanan penemuan jati diri, tentu saja dia tidak akan berakhir di sebuah bar di Seoul bersama seorang wanita yang tidak punya utang apapun padanya, memarahinya sehingga wanita itu menangis.
***
Saya adalah pria yang kekanak-kanakan itu, dan saya masih tidak yakin bagaimana menceritakan kisah perjalanan yang sebenarnya. Saya tahu cerita mana yang tidak boleh Anda percayai. Selama seminggu saya di Korea Selatan, saya menceritakan banyak kisah yang sulit dipercaya kepada diri saya sendiri.
Seorang pria Korea yang memperkenalkan dirinya sebagai Indro setuju untuk membawa saya ke zona demiliterisasi. Indro mengatakan kepada saya bahwa dia suka bertemu orang dari Indonesia sehingga dia bisa melatih "bahasa"-nya. Dia memberitahu saya hal-hal lain juga.
Ketika kami berada di dalam mobilnya, dia bertanya apakah saya memperhatikan sesuatu pada kaca mobilnya dan kaca mobil orang lain. Ya. kaca mobil tersebut dihitamkan - warnanya sangat pekat sehingga petugas polisi di negara kita mungkin berasumsi bahwa pengemudi tersebut mempunyai niat jahat atau sedang melakukan sesuatu yang melanggar hukum. Indro memberitahu saya bahwa orang Korea lebih menyukai kulit yang lebih terang, jadi mereka memasang filter jendela mereka.
Saya mengulangi fakta ini dengan penuh keyakinan setiap kali saya menceritakan kisah perjalanan palsu saya kepada teman-teman di rumah.
Zona demiliterisasi (DMZ) adalah batas demarkasi yang membagi Semenanjung Korea menjadi Korea Utara dan Selatan sepanjang garis 38 Lintang Utara.
Ketika saya dan Indro tiba di sana, dia membawa saya ke puncak menara observasi dengan teleskop. Dari sana, kita bisa melihat DMZ yang ditutupi hamparan hutan hingga ke Korea Utara. Karena manusia tidak lagi menghuni kawasan tersebut, flora dan fauna berkembang pesat seperti sebelumnya.
Saat saya menatap kesenjangan antara kedua negara, mau tak mau saya memikirkan kesenjangan antara saya dan wanita tersebut. Mau tak mau saya berpikir bahwa saat kami terpisah sebuah hutan telah tumbuh di antara kami.
***
Masalah dengan cerita perjalanan palsu adalah narator atau perawi memperlakukan dirinya sendiri sebagai objek dan tujuan sebagai subjek. Dengan kata lain, cerita perjalanan palsu adalah cerita tentang suatu destinasi yang bertindak terhadap wisatawan. Destinasi bertindak sebagai katalis pencerahan, membenarkan gagasan perjalanan sebagai sarana penemuan diri. Sedangkan kisah perjalanan yang sebenarnya mengakui bahwa perawi atau pencerita bertindak sesuai dengan tujuannya.
Ketika La Nina, kapal Christopher Columbus mendarat di sebuah pulau yang kemudian dia beri nama Hispaniola, penduduk asli setempat menyambutnya dengan ramah dan menawarkan untuk menukar potongan emas mereka dengan lonceng yang sering dibawa oleh para pelaut. Penemuan emas tersebut membuat Columbus percaya bahwa Tuhan telah membimbing kapalnya sampai ke pantai.
Kapalnya bukan mendarat di pulau itu, pulau itu yang menabraknya.Â
Tapi kita semua tahu bahwa Columbus sedang mencari emas dan itulah sebabnya dia menemukannya. Kita semua tahu apa yang akan dilakukan Columbus dalam mengejar sesuatu yang sebelumnya tidak ada.
Saya tidak bermaksud menyiratkan kesetaraan antara perbudakan dan genosida penduduk asli Amerika dan penggunaan DMZ sebagai metafora atas kegagalan hubungan cinta saya.
Maksud saya, ada kesamaan. Saya bermaksud mengatakan bahwa ada bahaya jika menganggap perspektif saya berasal dari ruang dan orang yang tidak diinginkan. Paling tidak, saya fokus pada masalah pribadi saya daripada bencana perang saudara yang terjadi di depan saya.
Saya tidak memikirkan korbannya. Saya tidak memikirkan keluarga yang masih terpisah. Saya tidak memikirkan ancaman perang nuklir yang terus-menerus dialami oleh warga kedua negara bertetangga dan masih bersaudara itu.
Saya tidak tahu apa yang pantas untuk dipikirkan saat seseorang meninjau DMZ yang membelah Semenanjung Korea, dan saya juga tidak yakin saya memenuhi syarat untuk memberikan saran apa pun tentang itu. Saya kebanyakan hanya bertanya-tanya dalam hati, apakah saya- atau siapa pun - harus berada di sana atau tidak.
***
Pagi-pagi sekali, saya menaiki bus wisata yang akan membawa kami ke DMZ. Kami sampai di sebuah jembatan yang dipenuhi perintang jalanan berlapis kawat berduri yang ditempatkan sedemikian rupa sehingga memaksa bus kami untuk berjalan zig-zag menuju ujung yang lain.
Ketika kami tiba di sebuah rumah jaga, seorang tentara yang masih sangat muda berseragam lengkap menaiki bus untuk menghitung kami dengan satu tangan sambil memegang laras senapannya dengan tangan yang lain. Setelah dia puas menghitung, kami bergegas maju menuju sebuah bangunan.
Kami dibawa ke dalam sebuah terowongan. Terowongan ini adalah salah satu dari tiga terowongan yang digali oleh pasukan Korea Utara, dengan tujuan untuk melancarkan invasi mendadak ke Korea Selatan. Sekarang terowongan tersebut menjadi tempat wisata yang sangat populer.
Kami masuk ke dalam gedung, melewati lobi dan toko cendera mata, lalu menaiki kereta yang membawa kami ke dalam terowongan. Petugas wisata memberi kami helm, dan kami berjalan menyusuri terowongan dalam satu barisan. Saya langsung teringat akan teror yang saya rasakan ketika saya masih jauh lebih muda dan berjalan menyusuri pipa drainase yang dipenuhi coretan gambar tengkorak.
Saat saya menerobos ruang dengan merangkak, menggaruk tangan dan lengan saya, saya yakin saya memikirkan tentang para pria, beberapa bahkan lebih muda dari saya, yang harus menggali terowongan itu. Saya yakin saya mencoba membayangkan diri saya berada di posisi mereka, lebih yakin dari sebelumnya bahwa Mark Twain benar ketika dia berkata, "Perjalanan berakibat fatal bagi prasangka, kefanatikan, dan pikiran cupet."
Setelah mencapai barikade yang tidak mengizinkan saya memasuki Korea Utara, saya yakin saya merasa memahami sesuatu yang tidak saya pahami sebelumnya. Mungkin, karena saya juga tidak yakin.
Ada sesuatu yang sungguh-sungguh mencurigakan tentang gagasan bagaimana seorang pria kekanak-kanakan yang dibesarkan di sebuah kota kecil yang berada paling ujung utara Pulau Sumatra, yang dilarang meninggalkan jalan buntu tempat tinggalnya hingga usia remaja, bahkan bisa sedikit memahami bagaimana rasanya menjadi orang yang menggali terowongan tersebut.
Inilah yang saya ketahui:
Setelah berkeliling Seoul selama seminggu, setelah mendapat banyak teman baru, setelah berjalan-jalan di kuil dan istana kuno. Setelah makan Bibimbap, tteokbokki, dan minum soju hingga kepala saya puyeng. Setelah menumpahkan masalah hubungan saya ke kota itu sambil berpura-pura kota itu yang menimpa saya.Â
Saya bertemu wanita dari masa lalu saya itu di bar, dan saya tidak bisa bersikap baik padanya.
Cikarang, 2 April 2024Â
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI