Saya tidak bermaksud menyiratkan kesetaraan antara perbudakan dan genosida penduduk asli Amerika dan penggunaan DMZ sebagai metafora atas kegagalan hubungan cinta saya.
Maksud saya, ada kesamaan. Saya bermaksud mengatakan bahwa ada bahaya jika menganggap perspektif saya berasal dari ruang dan orang yang tidak diinginkan. Paling tidak, saya fokus pada masalah pribadi saya daripada bencana perang saudara yang terjadi di depan saya.
Saya tidak memikirkan korbannya. Saya tidak memikirkan keluarga yang masih terpisah. Saya tidak memikirkan ancaman perang nuklir yang terus-menerus dialami oleh warga kedua negara bertetangga dan masih bersaudara itu.
Saya tidak tahu apa yang pantas untuk dipikirkan saat seseorang meninjau DMZ yang membelah Semenanjung Korea, dan saya juga tidak yakin saya memenuhi syarat untuk memberikan saran apa pun tentang itu. Saya kebanyakan hanya bertanya-tanya dalam hati, apakah saya- atau siapa pun - harus berada di sana atau tidak.
***
Pagi-pagi sekali, saya menaiki bus wisata yang akan membawa kami ke DMZ. Kami sampai di sebuah jembatan yang dipenuhi perintang jalanan berlapis kawat berduri yang ditempatkan sedemikian rupa sehingga memaksa bus kami untuk berjalan zig-zag menuju ujung yang lain.
Ketika kami tiba di sebuah rumah jaga, seorang tentara yang masih sangat muda berseragam lengkap menaiki bus untuk menghitung kami dengan satu tangan sambil memegang laras senapannya dengan tangan yang lain. Setelah dia puas menghitung, kami bergegas maju menuju sebuah bangunan.
Kami dibawa ke dalam sebuah terowongan. Terowongan ini adalah salah satu dari tiga terowongan yang digali oleh pasukan Korea Utara, dengan tujuan untuk melancarkan invasi mendadak ke Korea Selatan. Sekarang terowongan tersebut menjadi tempat wisata yang sangat populer.
Kami masuk ke dalam gedung, melewati lobi dan toko cendera mata, lalu menaiki kereta yang membawa kami ke dalam terowongan. Petugas wisata memberi kami helm, dan kami berjalan menyusuri terowongan dalam satu barisan. Saya langsung teringat akan teror yang saya rasakan ketika saya masih jauh lebih muda dan berjalan menyusuri pipa drainase yang dipenuhi coretan gambar tengkorak.
Saat saya menerobos ruang dengan merangkak, menggaruk tangan dan lengan saya, saya yakin saya memikirkan tentang para pria, beberapa bahkan lebih muda dari saya, yang harus menggali terowongan itu. Saya yakin saya mencoba membayangkan diri saya berada di posisi mereka, lebih yakin dari sebelumnya bahwa Mark Twain benar ketika dia berkata, "Perjalanan berakibat fatal bagi prasangka, kefanatikan, dan pikiran cupet."
Setelah mencapai barikade yang tidak mengizinkan saya memasuki Korea Utara, saya yakin saya merasa memahami sesuatu yang tidak saya pahami sebelumnya. Mungkin, karena saya juga tidak yakin.