Kisah perjalanan tidak pernah dimaksudkan untuk memberi pesan moral. Tidak memberikan instruksi, atau memberikan inspirasi. Tidak menjadi model untuk menemukan diri sendiri, atau memberikan pemahaman terhadap penduduk asli.
Jika sebuah cerita tampak menginspirasi atau membangkitkan semangat, atau bahkan seolah-olah memberi kesan bahwa perubahan sederhana dalam cakrawala panorama memungkinkan pemahaman yang lebih luas tentang diri sendiri atau apa pun, jangan percaya.
Jika di akhir sebuah cerita perjalanan kamu merasa seolah-olah memahami orang-orang dan tujuannya, kamu telah menjadi korban kebohongan mengerikan yang setua Columbus. Oleh karena itu, sebagai aturan baku dan praktis, kamu dapat menceritakan sebuah kisah perjalanan nyata dengan mengakui bahwa peristiwa-peristiwa dalam cerita tersebut bisa saja terjadi di tempat lain di dunia kita yang sudah terglobalisasi. Dunia kita di mana orang Minang yang bepergian dapat menemukan rendang dan sate Pariaman hampir ke mana pun dia pergi. Lihatlah pria dan wanita itu di Seoul.
Mereka makan chicken wing di bar. Mereka bisa saja melakukan percakapan yang sama di tempat lain, namun lelaki kekanak-kanakan itu ingin menemukan arti penting dalam penerbangannya selama tujuh jam lebih melintasi Laut Cina.
Pria kekanak-kanakan itu, di usianya 25 tahun, belum pernah menjalin hubungan hubungan yang seurieus. Dia selalu merasa terasing, ganjil, dan sendirian serta salah menjadikan perjalanan sebagai resep obat penawar kesepiannya. Dia tumbuh dengan membaca cerita para penjelajah dan petualangan mereka di negeri-negeri eksotik.
Di sekolah, guru-guru mengajarinya tentang Marco Polo, Ibnu Batutah, Karl May, Baron Munchausen, dan yang lainnya. Dia membaca tentang Huckelberry Finn yang melakukan arung jeram di Sungai Mississippi, mengikuti arah kicauan serak burung hantu dan bisikan sendu angin. Kenalannya piknik berziarah ke berbagai situs bersejarah dan mengikuti berbagai tradisi meditasi, yang secara praktis menampilkan kembali budaya Sriwijaya dan Majapahit. Bahkan saat ini, blogger perjalanan seperti Kakek Sutiknyo, yang dikenal dengan blog-nya Lost Packer, menulis quote, "Jadilah pejalan dan belajarlah dari perjalanan itu."
Butuh beberapa tahun sebelum pria itu belajar menceritakan kisah perjalanan yang sebenarnya dari kisah yang salah.
Perjalanannya ke Korea Selatan seharusnya memberinya cukup pelajaran. Selama berada di sana, dia berkeliling museum, memesan makanan dengan menunjuk item di menu dalam bahasa yang tidak dia mengerti, bertemu dengan sesama pelancong di bar yang lebih mengepul asap rokoknya, dan bahkan mengunjungi zona demiliterisasi yang memisahkan Korea Utara dan Selatan.
Jika semua ini dimaksudkan untuk menuntunnya pada suatu perjalanan penemuan jati diri, tentu saja dia tidak akan berakhir di sebuah bar di Seoul bersama seorang wanita yang tidak punya utang apapun padanya, memarahinya sehingga wanita itu menangis.
***
Saya adalah pria yang kekanak-kanakan itu, dan saya masih tidak yakin bagaimana menceritakan kisah perjalanan yang sebenarnya. Saya tahu cerita mana yang tidak boleh Anda percayai. Selama seminggu saya di Korea Selatan, saya menceritakan banyak kisah yang sulit dipercaya kepada diri saya sendiri.