Kami mencapai tapal batas. Melalui batang pohon gandaria yang berwarna ungu dan tidak berbentuk, sebuah papan penanda muncul, lapuk dan hitam di tepinya:Â
Cijerohaur. Populasi 2.000.
Sekarang hilang sudah.
Aku pernah bertemu seseorang yang berasal dari sini. Katanya pepohonan di sini indah. Ada festival tahunan di alun-alun yang dia sukai saat kecil. Orang-orang berpiknik dan pada suatu malam meninggalkan segala kekhawatiran mereka di luar padang rumput.
Sampai suatu hari seseorang buruh dari barisan rakyat yang baru saja kehilangan pekerjaan dan ditinggal istrinya, menyembunyikan 10 kiloton di dalam kotak pendingin piknik dan pergi ke alun-alun.
Hari yang menyedihkan seperti biasa.
Tentu saja anarkis berseru tentang penindasan hak dasar untuk membela diri, untuk membelenggu tangan kita dan menyimpan plutonium di brankas kaum elit.
Mereka bungkam dengan cepat.
Sabuk Geiger kami berbunyi "Mars Selamat Datang", begitu kami biasa menyebutnya.
Masih dalam batas toleransi.
Kami meminta anak-anak memakai masker gas untuk berjaga-jaga. Mereka mematuhi prosedur standar karena dilatih dengan baik setiap saat.
Tunas-tunas hijau menempel di aspal mulus akibat panas radioaktif. Bunga patrakomala merah darah bersinar terang dalam gelap.
Mengingatkanku akan Bagegede, kota tempatku dibesarkan. Patrakomala adalah kebanggaan kami. Tumbuh begitu liar dan bebas, Bagegede benar-benar menjadi kota mereka, kami hanya tamu yang numpang lewat. Di musim hujan, tempat itu dipenuhi warna merah, oranye, dan emas, dan udaranya begitu harum manis sehingga kamu bisa merasakannya.
Sekarang hilang sudah.
Teman-teman Engkus---segelintir yang selamat---mengatakan dia terluka. Jika mereka tahu, mereka akan turun tangan. Tapi dia mengubur lukanya yang memakannya dari dalam, sampai dia hanya bisa mengeluarkannya sebagai sinar gamma dalam sekejap.
Mungkin jika dia tidak punya Bocah Kecil berlapis timbal, hal itu tidak akan terjadi. Dan mungkin jika ayahnya lebih sering memeluknya, dan mungkin jika dia mempunyai pekerjaan yang sesuai, dan mungkin-mungkin lainnya.
Mungkin tidak akan membawa orang tuaku kembali. Yang akan mereka lakukan hanyalah mengaitkan gagasan orang lain dengan gagasan-gagasan lucu dan kering tentang kesenjangan sosial.
Kami melewati kerangka besi beton sebuah sekolah tua. Sepertinya ide yang paling aneh kalau benar-benar dipikir---mengumpulkan anggota masyarakat yang terkecil dan terlemah, inkubasi masa depan kelompok, dan menempatkan mereka semua di tempat yang sama. Sebenarnya, apa yang kalian harapkan akan terjadi? Mungkin membagikan batu nisan mereka dengan buku pelajaran pada bulan Agustus.
Pembunuh ada di luar sana dan peraturan tidak melindungi kita. Sekalipun yang mereka miliki hanyalah pisau tumpul, batu, atau kepalan tangan. Sekolah itu mengingatkanku pada SMA Nusa bertahun-tahun yang lalu. Ingat cewek itu? Dia punya setengah megaton. Mampu membunuh seluruh kotanya. Apa yang menghentikannya? Hukum? Pendidikan moral? Tentu tidak. Seorang anak melihatnya datang dan membobol brankas rumah orang tuanya.
Yang dia lempar  padanya hanya seperempat kiloton. Bahkan tidak menghancurkan seluruh sekolah. Dia menyelamatkan ratusan ribu jiwa.
Pemandu melaporkan kontak dengan kelompok lain. Mereka mengatakan terbuka untuk berbicara dan negosiasi. Kami akan bertemu di alun-alun lama.
Inilah cara hidup. Bergerak, menemukan, gratis. Tidak terikat pada hukum atau negara. Ada masanya. Seperti banyak jalan buntu evolusioner lainnya, hal ini menguap ke dalam sejarah di ambang gelombang sejarah ketika Ibu Kota menyerang sejak lama. Tentu saja orang-orang berbisik bahwa tempat-tempat seperti Singapura, Malaysa Semenanjung dan negara-negara di seberang lautan masih terus melakukan hal tersebut, tapi aku tidak melihat ada orang yang percaya akan hal tersebut.
Lagipula itu tidak penting. Jika mereka belum belajar, aku yakin mereka akan segera belajar. Yang kamu miliki hanyalah dirimu sendiri, kaummu, logika pikiranmu, dan pemicu bom di tanganmu.
Kami bertemu satu sama lain di seberang alun-alun. Mereka terlihat seperti kita. Ramping, sedikit ceking, tapi bersemangat, bermata jernih. Ritual penyambutan yang biasa. Kami berdiri di tempat terbuka dan saling mengangguk dengan damai.
Penembak tepat kami dengan detonator berkilauan di tangan bersembunyi di tengah kaum masing-masing. Para tetua melangkah maju. Bicara tentang makanan segar, air bersih, bahkan buku yang mereka pertimbangkan untuk dibarter. Sudah dua tahun sejak aku membaca buku baru.
Sulit untuk menjelaskan apa yang terjadi beberapa detik kemudian. Beberapa percakapan yang memanas. Suara mengejutkan terdengar di pepohonan.. Segalanya tumpah ruah. Bukan salah siapa pun, tidak ada yang bisa dilakukan. Hal-hal ini terkadang terjadi begitu saja.
Sekarang kami hilang.
Cikarang, 10 Oktober 2023
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI