Umurku lima puluh, Â usia yang sama dengan Ayah yang terasing ketika dia meninggal. Kejadian yang membuat manusia merenungkan jalan kehidupannya.
Pemikiran seperti itu membuatku menyibukkan diri, pertama dengan membereskan rumah tuaku yang kumuh. Telah menjalin keakraban kecil-kecilan dengan tetanggaku, Willa. Seorang  janda seusiaku dan telah mengajakku makan malam beberapa kali, dan aku merasa pada akhirnya aku harus membalasnya. Tapi pertama-tama, membersihkan tampilan bujangan paruh bayaku dulu.
Beres-beres, aku menemukan sebuah kotak terkubur jauh di dalam gudang 'sampah'. Di dalamnya terdapat koleksi kunci telegraf kuno milik Ayah. Ayah pernah menjadi telegrafer untuk perusahaan negara pada tahun lima puluhan. Melihat alat kuningan tua yang berdebu ini benar-benar membuatku teringat Ayah. Dia telah menyekrupnya pada sepotong kayu lapis bersama dengan bola lampu dan kumparan sounder sehingga jika dihubungkan dengan baterai, kuncinya akan mengoperasikan lampu dan sounder, menghasilkan bunyi klik-klak setiap kali kunci ditekan. Terasa sangat menyenangkan saat aku masih kecil. Aku bahkan belajar Kode Morse saat itu.
Aku tidak mungkin bisa ... tidak mungkin membuang benda itu. Salah satu dari sedikit hal yang mengingatkanku pada seorang ayah yang hampir tak kukenal.
Aku berumur tujuh tahun ketika Ayah pergi, dan dua belas tahun ketika aku mendengar dia meninggal.
Nah ... aku punya ide. Cucu Willa, Etho, akan bersamanya selama liburan sekolah. Aku mengalami kesulitan untuk membangun persahabatan dengan bocah itu. Aku tidak punya anak, jadi anak kecil tetap menjadi misteri bagiku.
Mungkin Etho tertarik dengan kuncitelegraf kuno ini.
***
Akhir pekan tiba dan bersamaan dengan itu undangan makan malam datang lagi dari Willa. Aku bergabung dengannya dan Etho pada Sabtu sore di rumahnya dan membawa serta kotak berisi peralatan telegraf.
Setelah makan malam, aku mengeluarkan kotaknya. "Nak, Aku punya sesuatu yang menarik."