"Tunggu, kamu bilang kamu mau berbicara dengan jenderal?"
Aku mendengus, pandanganku tertuju pada pohon-pohon gundul di kejauhan saat aku membayangkan sosok lelaki atasannya itu. Dia sangat membantu seperti pil tidur yang meredam harapan dan impian seseorang. "Kalau itu satu-satunya bantuan yang bisa kamu pikirkan, aku demgan senang hati menolak. Kita sama saja mengubur Keiko begitu bicara dengan bossmu."
"Lebih baik daripada nasib yang akan dia jalani jika tidak ditidurkan---dan kemungkinan besar kita juga akan menyusul dia. Aku nggak kenal dia, tapi aku yakin dia tidak ingin bangun sebagai monster pemakan daging."
"Dia memang nggak mau."
"Bagus. Jadi yang akan kamu lakukan?"
"Aku akan menyelamatkannya! Akmu bukan satu-satunya yang mampu melakukan sesuatu tentang mimpi buruk zombie ini, hanya karena kamu mengabdi untuk negara."
"Menyelamatkan dia? Kamu? Silakan. Kita akan beruntung jika kita bisa selamat keluar dari sini. Kamu kita bertemu dengan gerombolan zombie, kita sama saja sudah mati. Kita di sini sendirian nggak bisa menghubungi siapa pun. Nggak ada senjata kecuali pistolku, dan kita akan menyeret cewek yang digigit zombie ke mana-mana --- sampai dia memutuskan kalau daging kita layak dikonsumsi."
Surya menggelengkan kepala. "Kamu mempertaruhkan nyawaku untuk seorang gadis yang hampir tidak kau kenal, idiot."
"Maafkan aku," gumamku, kesal. "Tapi serius. Berapa kali aku harus meminta maaf sebelum kamu percaya padaku? Saya benar-benar hanya mencoba melakukan apa yang benar, mencoba membantu seseorang."
"Permintaan maaf tidak berarti apa-apa kalau kamu melakukan hal yang sama ... Â dan kamu bilang akan melakukannya."
Dia benar, dan aku tidak bisa membantahnya, jadi aku memilih untuk tetap diam.