Adis menghentakkan sepatu ketsnya di aspal lembap. Aku menekan bel pintu dan mengulas senyumku yang paling  meyakinkan padanya. "Mungkin agak aneh. Dia bahkan tidak mengenaliku terakhir kali."
"Aku akan terima setelah aku bertemu dengannya. Jangan khawatir tentang itu, Steve."
Pintu berayun terbuka, angin menghembus kami dengan udara tropis.
Kami melepas topi, syal, dan sarung tangan saat mengikuti petunjuk resepsionis ke ruang makan.
Di dinding tergantung potret pemandangan pedesaan abad ke-19 dalam warna sepia nostalgia. Udara berbau harum kecambah toge yang ditumis.
Beberapa meja tersebar di ruangan itu, tetapi hanya satu yang terisi. Di dekat pintu teras menuju taman halaman, Ibu sedang bermain domino dengan salah satu asisten perawat yang tunik seragamnya kusut masai seperti tak bersetrika. Sangat bertolak belakang dengan Ibu yang tampak rapi, berpakaian setelan rok biru tua dan blus putih sutra seolah-olah wanita di puncak karier. Rambut keperakannya ditata beerbentuk sanggul longgar dan dua titik pemerah pipi membuat pipinya cerah ceria.
Dia membanting kartu domino di atas meja dengan gaya Julius Caesar menaklukkan Galia. Saat petugas perawatan memberi isyarat kepada kami, Ibu tetap fokus pada permainannya.
Setelah kami mendekat, garis kerutan lebih terlihat. Rambut putih kaku tumbuh dari dagunya dan semburan bubur sarapan kering menghiasi kerahnya seperti bros. Kartu domino bertebaran di atas meja: angka tiga dan satu yang berbatasan dengan balak enam tidak akan pernah bisa diterima dalam permainan yang dia ajarkan padaku.
"Hai, Bu," kataku. "Bagaimana kabarmu?"
Ibu membungkuk dan mengacak-acak domino.
"Saya pamit." Perawat sudah meluncur ke arah pintu.
"Aku membawa seseorang untuk bertemu denganmu, Bu," kataku. "Ini Adis, aku..."
"Aku tahu siapa dia, anak muda," kata Ibu. "Aku tidak lupa ingatan!" Dia menunjuk kursi di sebelahnya. "Duduklah, Sayang, aku sangat ingin mendengar kabarmu!"
Adissa mengambil tempat duduk. Di taman, seekor burung kutilang mematuk layang-layang yang tersangkut di dahan telanjang.
Aku menggantung jaketku di belakang kursi dan duduk.
"Siapa suruh kamu duduk?" Ibu menggeram. "Tidak bisakah kamu membuat dirimu berguna dan membawakan kami teh?"
Adissa meletakkan balak enam di tengah meja. Beralih kepadaku, dia mengedipkan mata: "Teh akan menyenangkan, terima kasih, pelayan. Hangat jangan panas, tawar tanpa gula."
Bandung, 15 Januari 2023
Baca juga CMP 74:Â Dari Bahasa Arab yang Artinya Hidup