Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

CMP 75: Tawar Tanpa Gula

15 Januari 2023   09:31 Diperbarui: 15 Januari 2023   09:46 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Permainan Domino (pixabay.com)

Adis menghentakkan sepatu ketsnya di aspal lembap. Aku menekan bel pintu dan mengulas senyumku yang paling  meyakinkan padanya. "Mungkin agak aneh. Dia bahkan tidak mengenaliku terakhir kali."

"Aku akan terima setelah aku bertemu dengannya. Jangan khawatir tentang itu, Steve."

Pintu berayun terbuka, angin menghembus kami dengan udara tropis.

Kami melepas topi, syal, dan sarung tangan saat mengikuti petunjuk resepsionis ke ruang makan.

Di dinding tergantung potret pemandangan pedesaan abad ke-19 dalam warna sepia nostalgia. Udara berbau harum kecambah toge yang ditumis.

Beberapa meja tersebar di ruangan itu, tetapi hanya satu yang terisi. Di dekat pintu teras menuju taman halaman, Ibu sedang bermain domino dengan salah satu asisten perawat yang tunik seragamnya kusut masai seperti tak bersetrika. Sangat bertolak belakang dengan Ibu yang tampak rapi, berpakaian setelan rok biru tua dan blus putih sutra seolah-olah wanita di puncak karier. Rambut keperakannya ditata beerbentuk sanggul longgar dan dua titik pemerah pipi membuat pipinya cerah ceria.

Dia membanting kartu domino di atas meja dengan gaya Julius Caesar menaklukkan Galia. Saat petugas perawatan memberi isyarat kepada kami, Ibu tetap fokus pada permainannya.

Setelah kami mendekat, garis kerutan lebih terlihat. Rambut putih kaku tumbuh dari dagunya dan semburan bubur sarapan kering menghiasi kerahnya seperti bros. Kartu domino bertebaran di atas meja: angka tiga dan satu yang berbatasan dengan balak enam tidak akan pernah bisa diterima dalam permainan yang dia ajarkan padaku.

"Hai, Bu," kataku. "Bagaimana kabarmu?"

Ibu membungkuk dan mengacak-acak domino.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun