Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Kasus Sang Harimau (Bab 65)

6 Desember 2022   09:45 Diperbarui: 6 Desember 2022   09:58 268
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dok. pri. Ikhwanul Halim

Ada jeda dan sepertinya aku mendengar gumaman samar di ujung sana. Kemudian sebuah suara berbicara lagi yang terdengar seperti suara David, meski aku tidak begitu yakin. Suara itu berkata, "Di dermaga, dekat mercusuar." Ada dengungan saat penerima diganti.

Aku berkata dengan putus asa, "David, kamu masih di situ?" Tapi tidak ada jawaban.

Aku bertanya-tanya apakah panggilan itu bisa dilacak, tetapi kemudian aku menyerah, meletakkan gagang telepon dan menoleh ke Danar.

"Di mana mercusuarnya?" tanyaku padanya.

Dia menatapku heran untuk sesaat. "Mercusuar Cikoneng, kilometer nol jalan Anyer. Dari sini belok kiri, sekitar empat kilometer," jawabnya.

***

Dermaga mercusuar sepi ketika aku tiba di sana. Gudang-gudang di sekitarnya membentuk bayangan besar dan menakutkan di atas ruang terbuka yang luas. Aku berhenti di luar sebuah bangunan batu kecil di ujung dermaga. Yang menonjol di depan gedung ini adalah mercusuar.

Aku kemudian menuju mercusuar dan berhenti di sampingnya. Tidak ada yang terlihat. Keheningan yang dingin dan lembap menggantung di sekeliling. Aku menggigil, tidak sepenuhnya karena kedinginan.

Membakar sebatang rokok lalu melirik arloji dengan nyala korek api, kemudian waspada. Aku telah melihat gerakan yang sangat kecil di bayangan salah satu gudang. Mendengar suara gesekan yang sangat samar, seolah-olah seorang sedang memindahkan berat badannya dari satu kaki ke kaki lainnya. Aku berdiri, tidak bergerak sedikit pun, mendengarkan dengan seksama. Lalu aku sengaja berjalan tidak jauh dari gedung kecil itu dan berdiri membelakangi gudang. Keheningan itu hanya terusik oleh suara angin yang datang dari laut. Aku menggigil lagi dan mengakui pada diriku sendiri bahwa aku sangat takut.

Aku melihat sekeliling dengan cepat, tetapi tidak melihat apa pun selain bayangan gudang itu. Kemudian, samar-samar tapi cukup terdengar, saya mendengar bunyi klik metalik yang lembut ...

Naluri membuatku bersandar ke samping dan tidak diragukan lagi tindakan ini menyelamatkan hidupku. Seorang menerjangku dari belakang, dan aku merasakan pisau merobek jaket bomberku. Aku menyerang dengan tangan kanan dan menghantam tulang pipi penyerang tersebut. Dia mengutuk dengan kata-kata kotor dan aku langsung tahu suara itu. Dia adalah preman muka tikus yang menyebut dirinya Kujang. Dengan pukulan ke atas dia menebas lenganku, tapi aku berhasil mencengkeram pergelangan tangannya.

Kami bergelut maju mundur dan Kujang memaki-memaki dengan kata-kata kotor. Dia menyentakkan lutut kanannya ke atas, tetapi aku mengantisipasi gerakan itu dengan menangkap pergelangan kakinya, melemparkannya ke samping. Dia jatuh dengan keras di atas batu-batuan.

Tapi dia masih memegang pisaunya. Kali ini dia menyerbu ke arahku dengan kepala tertunduk dan menebas wajahku. Aku merunduk tepat pada waktunya dan meraih tangannya yang memegang pisau. Pada saat yang sama mengarahkan tinjuku yang lain ke perutnya. Tidak sia-sia kebiasaanku mengunjungi pusat kebugaran, ketika sebagian besar ototku memusatkan tenaga ke pukulan itu. Aku mendengar dengus napas liar keluar dari mulutnya dan pisau itu jatuh ke tanah dengan bunyi berdenting.

Tapi dia belum selesai. Dia menukik untuk mengambil pisau, dan aku menendangnya ke tepi dermaga. Kujang mengejarnya, tapi aku menukik untuk menangkap kakinya dan menjegalnya ke tanah sebelum dia bisa mencapainya. Aku menariknya berdiri dan memberinya pukulan bersih tepat di ujung rahangnya.

Kujang mencicit seperti tikus yang terperangkap saat tangan kanan mencengkram lehernya. Dia menendang dengan putus asa dan mengenai tempurung lututku, tetapi aku masih berhasil menahannya. Menjambak kerah jaketnya, aku mengayunkan lututku dan kepalan tangan kanan mengayun ke mulutnya.

Dia terhuyung mundur, tapi datang lagi untukku. Pada saat ini kami berada di pinggir ujung dermaga. Di bawah kami air laut hitam bergulung-gulung.

Menggeram seperti hewan buas, Kujang melingkarkan kedua tangannya di pinggangku. Aku melepaskan diri dari cengkeramannya dan mencekik lehernya lagi; kemudian genggamanku mengendur karean dia menggigit punggung tanganku.

Aku sadar bahwa dia jauh lebih muda dan mungkin lebih bugar dariku, dan satu-satunya kesempatanku adalah menghabisinya dengan pukulan knock-out.

Mengumpulkan kekuatan terakhirku yang hampir habis, aku meninju wajahnya. Dia tiba-tiba mengangkat tangannya, berteriak nyaring, dan menghilang ke dalam kegelapan di bawah.

Dengan napas terengah-engah, aku terhuyung-huyung beberapa langkah memegangi perutku. Aku melihat ke bawah ke laut. Gelombang rasa sakit di sekujur tubuh dan mual mengaduk perutku. Aku menyapu wajahku denghan tangan dan merasakan hangatnya darah.

Aku menatap laut lagi. Deburan ombak menghantam dermaga.

Kemudian aku menendang pisau Kujang ke laut dan berjalan goyah kembali ke mobil.

BERSAMBUNG

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun