Naluri membuatku bersandar ke samping dan tidak diragukan lagi tindakan ini menyelamatkan hidupku. Seorang menerjangku dari belakang, dan aku merasakan pisau merobek jaket bomberku. Aku menyerang dengan tangan kanan dan menghantam tulang pipi penyerang tersebut. Dia mengutuk dengan kata-kata kotor dan aku langsung tahu suara itu. Dia adalah preman muka tikus yang menyebut dirinya Kujang. Dengan pukulan ke atas dia menebas lenganku, tapi aku berhasil mencengkeram pergelangan tangannya.
Kami bergelut maju mundur dan Kujang memaki-memaki dengan kata-kata kotor. Dia menyentakkan lutut kanannya ke atas, tetapi aku mengantisipasi gerakan itu dengan menangkap pergelangan kakinya, melemparkannya ke samping. Dia jatuh dengan keras di atas batu-batuan.
Tapi dia masih memegang pisaunya. Kali ini dia menyerbu ke arahku dengan kepala tertunduk dan menebas wajahku. Aku merunduk tepat pada waktunya dan meraih tangannya yang memegang pisau. Pada saat yang sama mengarahkan tinjuku yang lain ke perutnya. Tidak sia-sia kebiasaanku mengunjungi pusat kebugaran, ketika sebagian besar ototku memusatkan tenaga ke pukulan itu. Aku mendengar dengus napas liar keluar dari mulutnya dan pisau itu jatuh ke tanah dengan bunyi berdenting.
Tapi dia belum selesai. Dia menukik untuk mengambil pisau, dan aku menendangnya ke tepi dermaga. Kujang mengejarnya, tapi aku menukik untuk menangkap kakinya dan menjegalnya ke tanah sebelum dia bisa mencapainya. Aku menariknya berdiri dan memberinya pukulan bersih tepat di ujung rahangnya.
Kujang mencicit seperti tikus yang terperangkap saat tangan kanan mencengkram lehernya. Dia menendang dengan putus asa dan mengenai tempurung lututku, tetapi aku masih berhasil menahannya. Menjambak kerah jaketnya, aku mengayunkan lututku dan kepalan tangan kanan mengayun ke mulutnya.
Dia terhuyung mundur, tapi datang lagi untukku. Pada saat ini kami berada di pinggir ujung dermaga. Di bawah kami air laut hitam bergulung-gulung.
Menggeram seperti hewan buas, Kujang melingkarkan kedua tangannya di pinggangku. Aku melepaskan diri dari cengkeramannya dan mencekik lehernya lagi; kemudian genggamanku mengendur karean dia menggigit punggung tanganku.
Aku sadar bahwa dia jauh lebih muda dan mungkin lebih bugar dariku, dan satu-satunya kesempatanku adalah menghabisinya dengan pukulan knock-out.
Mengumpulkan kekuatan terakhirku yang hampir habis, aku meninju wajahnya. Dia tiba-tiba mengangkat tangannya, berteriak nyaring, dan menghilang ke dalam kegelapan di bawah.
Dengan napas terengah-engah, aku terhuyung-huyung beberapa langkah memegangi perutku. Aku melihat ke bawah ke laut. Gelombang rasa sakit di sekujur tubuh dan mual mengaduk perutku. Aku menyapu wajahku denghan tangan dan merasakan hangatnya darah.
Aku menatap laut lagi. Deburan ombak menghantam dermaga.
Kemudian aku menendang pisau Kujang ke laut dan berjalan goyah kembali ke mobil.
BERSAMBUNG