Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Batas-Tak-Bertuan (III)

12 November 2022   16:42 Diperbarui: 12 November 2022   16:49 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dok. pri. Ikhwanul Halim

Medali perhargaan yang tergantung di leher Musashito---tiga perak dan lima perunggu---memancarkan cahaya di bawah dagunya yang menonjol. Dia menyodorkan perunggu yang paling dia sukai ke hidung Malin, memamerkan tahun-tahun kepahlawanannya tanpa kata-kata. "Jangan bodoh, itu membuatku sedih. Oh, musuh sangat licik, Malin. Lebih dari yang bisa kamu bayangkan. Tidak ada gencatan senjata. Tidak dalam pikiran mereka. Tidak sampai kita semua mati."

Musashito menjejalkan dirinya ke dalam lemari penyimpanan dan membanting pintu. Kata-katanya teredam masuk telinga Malin yang datar. "Kita harus memiliki semacam tanda isyarat."

"Baiklah. Keluar dari lemari sekarang?"

Pintu terbuka, menggetarkan kendi-kendi yang disimpan di kedua sisinya dengan ukuran, bentuk, dan warna yang tepat. Biru dengan biru. Dari yang pendek hingga yang tinggi.

Prajurit tua gila itu melompat keluar sambil melambaikan meriam tangan di sudut-sudut kedai, terhuyung-huyung kehilangan keseimbangan sampai efek cedera kepala dari pertempuran hilang. Mungkin itu masalah dari masalahnya. "Di mana mereka, Anak Muda? Di mana musuh berada?"

Malin menggosokkan telapak tangannya yang gemuk ke wajahnya, matanya gatal karena debu.

"Masuklah kembali ke dalam lemari, Pak Tua terkutuk."

Waktunya tepat. Kedai bergetar dan suara terompet kapal meraung. Dermaga Langkaseh menerima kapal yang datang, dengan cepat menempel ke tambatan berlabuh. Getarannya menggetarkan jeruji jendela dan rambut Malin, dan juga bibirnya. Dia berdiri dengan kaki mengangkang lebar dan lutut gemetar. Kuali dan kendi berderak, tapi tidak ada yang jatuh atau retak.

Ketika gempa berakhir, Malin menduduki tempatnya di belakang meja peracik minum dan menyalakan lampu tahun. "Waktunya mengumpulkan kepeng."

BERSAMBUNG

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun