Memarkirkan Proton Kancil di sisi jalan, Awang melompat keluar dan bergegas ke kedai untuk menelepon Kuntum.
Dia tidak akan percaya yang satu ini.
"Kuntum! Oh, Maaf. Salah sambung," katanya saat mendengar suara laki-laki di ujung telepon.
"Ini Gumarang, Wang. Aku di sini untuk berbicara dengan Kuntum tentang cita yang dia inginkan," Gumarang menjawab dengan gugup.
"Di mana Kuntum? Kenapa dia tidak menjawab telepon?" Awang berkata dengan suara keras.
Aku baru saja meninggalkan rumah sialan itu!
"Aku rasa dia sedang di kamar mandi," Gumarang menjawab lebih gugup lagi.
"Bagaimana awak bisa masuk ke rumahku kalau begitu?" Awang berteriak, membuat beberapa kepala menoleh, bahkan pada jam sepagi ini. "Apa dia membiarkanmu masuk dan kemudian memutuskan untuk mandi?"
"Awang, sabar dulu. Aku tahu apa yang awak pikirkan, tetapi tidak ada yang terjadi di sini. Aku datang, mengetuk pintu ketika mendengar telepon berdering dari dalam. Pintu terbuka saat aku mendorongnya, jadi aku masuk. Kuntum bahkan tidak tahu aku di sini." Gumarang akhirnya berhasil mengucapkan kalimatnya dengan lancar.
Mengenalikan emosinya agar tidak berteriak kali ini, Awang berkata, "Katakan padanya untuk meneleponku di klinik," sebelum akhirnya menutup telepon.