Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kersen

9 Agustus 2022   11:42 Diperbarui: 9 Agustus 2022   11:53 249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Diana membutuhkan hal-hal baru untuk berkembang, sama seperti pupuk yang dia sebarkan di kebunnya.

Dia dan Ravi menempati rumah lama di lingkungan yang keren dan trendi, mereka sendiri juga keren dan trendi.

Ravi membutuhkan rumah besar untuk studionya dan untuk menampung bandnya.

Diana menganggap dirinya keren dan trendi karena dia menikah dengan Ravi, dan semua orang di Bandung mengenal Ravi. Diana tidak memiliki bakat khusus. Dia adalah asesori yang cantik untuk Ravi dan dia suka berkebun. Hanya itu.

Diana menginginkan mobil baru. Toyota Avanza itu memang masih bisa diandalkan, tapi sudah tua. Setengah dari lampu dasbor tidak berfungsi. Tombol radio copot. Mobil itu berbau kucing dan kuah bakso yang tumpah.

Mereka tidak membutuhkan mobil baru. Ravi bangga dengan yang satu ini karena cicilannya lunas dibayar.

Tapi Diana benar-benar menginginkan mobil yang semuanya berfungsi, dengan pintu penumpang belakang bagian dalam tidak digaruk.

Suatu hari yang panas di bulan Juli, Ravi sedang dalam perjalanan pulang dari manggung di Kemang siang itu. Shift Diana di salon berakhir pukul enam. Diana membawa soda dan laptopnya ke kebunnya. Di bawah pohon kersen, dia melihat situs web dan iklan online dan mencoba menenangkan diri.

Ravi belum datang pada pukul enam, atau dua belas. Bukan hal yang aneh bagi Ravi untuk membelokkan waktu seperti yang ia lakukan pada nada gitarnya.

Diana tidur. Ravi membawa si kucing persia Jasmine bersamanya, dan Diana mengajak chinchilla Chinox ke tempat tidur bersamanya.

Ponselnya berdering pada pukul empat pagi.

"Sayang?" Suara Ravi, dengan nada kalut. "Kami baik-baik saja. Aku dan Jazz." Jazz adalah panggilan Ravi untuk Jasmine.

Diana duduk. "Apa yang terjadi?"

Ravi menabrak pagar pembatas bahu jalan tol. Mobilnya hancur total dan dia sedang dalam perjalanan pulang diantar seorang teman dari Karawang.

Jantung Diana kembali ke dadanya, tetapi tetap mawas seperti kucing yang waspada. Jasmine baik-baik saja. Ravi baik-baik saja.

Mobil itu tidak baik-baik saja. Mereka harus membeli yang baru. Diana tidur memimpikan aroma interior mobil baru.

Mereka memilih Mitsubishi Outlander yang hampir cukup besar untuk kucing dan peralatan Ravi. Bekas, tetapi dengan antarmuka GPS dan Ipod dan kursi otomatis.

Diana menyukainya. Dia membuat alasan untuk membawanya ke Toko Mahmud, satu-satunya toko yang menjual pelembab yang dia butuhkan. Dia bersedih ketika Ravi membawanya untuk manggung.

Musim kemarau berganti, dingin, hujan dan mengangat bersama kembalinya musim kemarau yang lembab. Tanaman di kebunya dipangkas dan disiangi. Tudung pohon kersen melapisi dirinya dengan putik bunga bagai butir-butir salju.

Suatu pagi yang gerah, Diana memandang rumahnya, menatap catnya yang mengelupas dan sirap berusia dua dasawarsa yang dilapisi lumut. Diana menginginkan atap baru.

Ravi menentangnya. Dia tidak berharap mereka akan tinggal di rumah ini selamanya. Dia bilang mereka mungkin pindah ke Bogor. Atau bahkan Jakarta. Dia mendapatkan banyak tawaran dari studio rekaman.

Musim kemarau yang tidak menyenangkan. Ravi patah pergelangan kakinya saat melompat dari panggung. Mereka mengubur si tua Chinox. Segala kejadian itu membuat hati Ravi hancur.

Untuk melepaskan diri dari suasana hati Ravi yang buruk, Diana menghabiskan waktu di taman, memandangi atap.

Suatu malam di bulan Agustus mereka mengadakan pesta kebun. Dengan sosis panggang, burger, dan sayuran untuk vegetarian. Band Ravi memainkan akustik di pekebun Diana. Semua orang menyukai lampu warna-warni di taman.

Ketika Diana tidur, dia memimpikan atap emas. Dalam mimpi itu Ravi memanggil namanya.

"Diana, bangun. Kebakaran!"

Api menghitamkan dinding, menghanguskan loteng, melumerkan teras belakang. Angin sepoi-sepoi membawa percikan api dari panggangan dan meletakkannya tepat di atap rumah.

Diana, Ravi, Jasmine, dan peralatan band pindah ke sebuah apartemen sewaan yang tak seberapa jauh. Kontraktor mengatakan mereka akan mendapatkan dapur baru, dan atap baru.

Enam bulan kemudian rumah itupun jadilah. Atapnya, dari baja timah perak, berkilau di bawah sinar matahari. Diana telah memilih warna merah marun semerah darah kental untuk dinding papan, dikelilingi tanaman mint dan thyme sebagai hiasan.

Musim hujan berikutnya Diana berjalan tanpa alas kaki di lantai marmernya, mengenakan gaun tidur panjang.

Ravi lebih sibuk dari sebelumnya. CD-nya keluar dan dia melakukan tur, bepergian dari kota ke kota, pulau ke pulau. Diana membuat alasan untuk tidak ikut. Dia pikir dia menghalanginya, seperti peralatan yang diletakkan di tempat yang salah.

Ketika Musim kemarau datang, Ravi menulis lagu, berlatih tanpa henti. Pohon-pohon berdaun. Semak belukar mengharum di taman.

Diana mengira dia mungkin hamil. Dia tidak menginginkan apa pun, menyembunyikan keinginannya, mengendalikan nafsunya. Garis merah muda terbentuk pada strip uji kehamilan. Dia mulai bermimpi tentang nama.

Dia tidak memberi tahu Ravi. Sekarang dia punya tujuan. Akhirnya dia punya bakat, seperti taman.

Bandung yang sejuk dan berkabut. Bunga seruni menghiasi halaman. Diana pulang kerja lebih awal akrena kelelahan.

Band Ravi sedang berlatih. Keripik dan kaleng bir berserakan seperti diacak-acak hewan kelaparan. Melangkahi kotak pizza yang setengah kosong, Diana memasuki dapurnya, menginginkan teh panas dan camilan.

Ada suara-suara di ruang makan. Ravi dan salah satu gadis. Diana bukan tipe pencemburu. Gadis-gadis mengelilingi Ravi seperti umbul-umbul di kompleks saat perayaan Hari Kemerdekaan. Bersandar di lemari, dia mendengar suara Ravi. Sungguh-sungguh, serius.

"Tinggal di sini menjadi hambatan. Aku butuh kebebasan. Aku harus pergi ke Jakarta dan hidup selama setahun. Aku tidak ingin dia ikut bersamaku. Aku hanya tidak tahu bagaimana cara memberitahunya."

Gadis itu menggumamkan simpati atas penderitaannya. Bergerak menjauh, Diana meletakkan ketel, menatap ke tempat dia menggantung ayunan di pohon kersen.

Diana memutuskan bahwa dia menginginkan suami baru.

Bandung, 9 Agustus 2022

Sumber ilustrasi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun