"Kami di sini karena kami menyayangimu."
Aku pulang dari kedai tetangga dan menemukan ruang tamuku penuh dengan keluarga dan teman-teman. Ada aroma Black Forest, tapi hari ini bukan hari ulang tahunku.
"Duduk."
Aku lebih suka berdiri, berjaga-jaga kalau aku harus lari. Ada apakah ini? Semua orang terlihat sangat serius. Apakah ada yang sedang sekarat?
"Kami semua mengkhawatirkanmu."
Apa-apaan ini? Aku baik-baik saja. Aku bukan pengguna narkoba. Sudah lama sekali aku menjauhi alkohol dan nikotin. Kurasa berat badanku bertambah. Tapi itu sepertinya bukan alasan yang cukup baik untuk apa pun yang terjadi di sini.
"Ini tentang puisimu."
Apa?
"Puisimu gelap."
Puisiku?
"Dan semakin aneh. Dulu kamu menulis dongeng anak-anak yang mengharukan. Kami menyukainya. Itu membuat orang senang. Tapi sekarang kamu menulis puisi dengan judul seperti 'Mimpi Buruk Siang Bolong Pria Dewasa tentang Masa Remaja' dan 'Di Pasar Lahir, Hidup, dan Mati.'"
Menulis puisi adalah ekspresi kebebasan diri.
"Kami pikir kamu perlu mencoba menulis beberapa cerita manis lagi. Kami akan merasa lebih nyaman."
Aku menulis bukan untuk kalian.
"Kami tahu ini bukan dirimu yang sebenarnya."
Mungkin justru ini aku yang sebenarnya.
"Kami sangat senang kamu mengerti kami. Kami menyayangimu dan ingin kamu bahagia."
Sebenarnya, aku bahagia. Sepertinya, kalian semua yang tak senang.
"Kami akan pulang sekarang. Terima kasih atas pengertiannya. Ingat, kami hanya menginginkan yang terbaik untukmu."
Hei, siapa yang membuat kue sialan ini? Aku mengiris sepotong, membuka laptopku dan mulai menulis puisi berjudul 'O, Belatung nan Cantik!'.
Bandung, 1 Februari 2022