Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Rumah Kami di Dinding Tebing Karang

8 Januari 2022   19:00 Diperbarui: 8 Januari 2022   19:02 749
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Konsultasi dokter," Yon menjelaskan.

Berikutnya adalah adegan di rumah mereka, yang belum pernah kukunjungi. Ada kertas dinding pucat di belakang meja dapur tua tempat keduanya duduk untuk sarapan. Mamanya terlihat lelah. Yon tampak lebih buruk lagi, bola matanya tenggelam di wajahnya yang tirus. Mereka tertunduk mengamati piring di depan mereka.

Aku sedang buku membaca di tepi tebing---jarak yang aman sehingga mambang karang tidak bisa menangkapku---ketika Yon datang berlari. Napasnya memburu kencang. Seperti dia perlu istirahat. Dia menjelaskan bahwa dia mengerti apa yang dimaksud dengan retakan di dinding.

"itu adalah peristiwa dalam hidupku, dari masa lalu dan segera setelah itu menyusul masa kini. Sesuatu akan terjadi."

"Apa yang akan terjadi?"

Dia melihat ke atas tebing dan mengangkat bahu. Aku rasa aku tahu apa yang dia khawatirkan. Yang kami semua khawatirkan.

Sejak saat itu, Yon mengintip melalui celah itu setiap jam, bahkan di malam hari saat kami semua tidur. Aku biasanya menemaninya karena itu adalah hal yang menakutkan, dan hal-hal yang menakutkan menjadi lebih baik ketika kamu punya seseorang untuk menggandeng tanganmu.

Adegan di celah mulai berubah menjadi lebih cepat.

Mamanya tidak berbicara dengan siapa pun di meja dapur sementara Yon berbaring di sofa mengerjakan pekerjaan rumah.

Di rumah sakit, di rumah mereka, di kamar Yon, di kamar mandi, sementara bibiku merias wajah dan Dan mengawasi.

Meski pelan, retakan itu semakin melebar. Sekarang aku hanya bisa meremas tangannya, bukan karena aku pemberani.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun