Bisa dipastikan dia akan mati di sini, dikelilingi oleh pasukan berjuta boneka yang hidup. Dan saat dia berkubang keramik dingin yang berat, mata mereka masih menatap, dan terus menatap, dia berharap dia tak pernah menjadi Raja sama sekali.
Mendadak lampu padam. Dia bernafas leg, paru-parunya terbebas dari tekanan yang menyiksa. Dia tidak bisa merasakan ada yang menghimpitnya kecuali kegelapan. Gibran buru-buru berdiri dengan canggung, siap untuk melawan serangan supranatural berikutnya, yakin dia akan menang kali ini. Dia siap untuk apa pun, apa pun.
Kecuali apa yang akan dia lihat di cermin beberapa saat kemudian.
Lampu menyerangnya dengan ledakan cahaya penderitaan putih yang panas membara, merobek lapisan pembatas kebenaran dan kebohongan, seakan tak lebih dari selembar kertas tipis.
Gibran merosot ke lantai, buta dan terpesona. Dan ketika akhirnya dia bangkit, dia bangkit kembali, dia bangkit sebagai bagian dari zat yang terbiaskan oleh tindakan yang tak dapat diubah lagi. Dia sangat ingin berteriak, tetapi ketika dia membuka mulut, tenggorokannya yang kering tidak bisa mengeluarkan apa-apa selain debu gipsum.
Seputih kapur dari kepala sampai kaki, wajahnya pucat tak bagai hantu yang padat. Mengenakan jubah hijau dan benang prada yang berlubang dimangsa ngengat, pas dengan tubunnya seperti gorden jendela. Dan ketika dia merobeknya, dia melihat tubuh pucatnya tidak berbentuk sama sekali, hanyalah manekin mulus berkapur dengan lengan dan kaki terpasang pada sambungan yang tajam dan tak alami, retak menumpahkan bubuk kapur saat dia bergerak.
Gibran benar-benar hampa di dalam. Dia bisa mendengar di kepalanya yang kosong udara berkesiut dalam tubuhnya. Kembali mencoba berteriak lagi, tetapi tak ada paru-paru dan pita suara, hanya ruang kosong hitam, cetakan kapur gipsum yang meluruh. Di atas kepalanya yang tak berambut ada mahkota perak imitasi bertatahkan permata plastik, dan di tangannya tongkatnya telah menjadi tongkat berbentuk batang korek api yang setengah terbakar.
Dia berdiri seperti patung: Manusia Hampa, Penderita Kusta, apa saja, kecuali Gibran. Ketika dia melihat kulitnya yang lepas menjuntai di atasnya seperti kantong plastik, dia meraihnya dan entah bagaimana bisa masuk lagi ke dalamnya, hanya untuk membuat lengannya patah di bahu dan jatuh pecah berkeping-keping di lantai. Namun Manusia Hampa tak berdarah, tak merasakan apa-apa. Manusia Hampa hanya berdiri, bengkok asimetris, kosong dari semua hal ihwal manusia yang sangat dibencinya.
Berdiri tegak tak bergerak, Sang Raja Ketiadaan.
***
Ketika Lampu padam, Firni Voermann mendengus dengan tak sabar dan menendang pintu yang terkunci dengan sepatu plastiknya, dan langsung menyesalinya.