Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lampu Rumah Tua

10 Juni 2021   21:10 Diperbarui: 10 Juni 2021   21:14 734
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lampu menyala, mati, menyala, mati.

Terhuyung-huyung menginjak puing-puing, tanpa berpikir Maya masuk ke dalam dan menghilang.

***

Gibran dari Jalan Kawi No. 30 melihat sekilas cahaya melalui celah kerai yang berdebu saat dia sedang mengerjakan proyek terbarunya: model miniatur rumit dari kapal layar tiga tiang tinggi yang disebut barque. Detailnya sangat rinci sehingga dia menggunakan kaca pembesar dengan lampu tepat di atas kepala. Struktur lem dan kayu yang megah itu akan menjadi primadona di antara koleksi miniatur yang dicintai. Warnanya hitam dengan layar putih terbentang pada tali-temali benang, kerek mungil dalam skala yang tepat sampai tiga digit. Samudra dan pelabuhan mini tiruan Papetee era bajak laut terbuat dari karpet kempa, jalanan dari pasir sungai yang direkatkannya dengan hati-hati. Dia membuat kerangka pohon kelapa dari kawat dan silikon dan menghiasinya dengan potongan timah sebagai daun. Gubuk, warung minum, markas tentara disesuaikan dengan apa yang dilihatnya di kanal history. Butuh waktu dua bulan untuk membuat kapal layar tinggi, yang bisa dihancurkan dalam dua menit oleh tangan yang lasak.

Bukan pekerjaan mudah, tapi Gibran menyukainya. Dia begitu tenggelam dengan hobinya, hingga hari-hari berlalu di sekelilingnya tanpa terasa, karena kerai selalu tertutup untuk menghindari gangguan dari luar. 

Seluruh rumahnya adalah bengkel yang dilapisi serbuk gergaji dan bau cat, dilengkapi dengan ratusan perkakas yang tergauntung di dinding. Dia tidak mempedulikan para tetangga ketika menghidupkan gerindanya yang meraung-raung di tengah malam, karena inilah dunianya. Dunianya sendiri yang jauh dari mereka semua.

Di tengah, meja kerjanya yang berantakan bermandikan cahaya lampu yang bagi Gibran adalah cahaya suci. Saat ini dia menggunakan palu kecil buatan sendiri untuk memakukan rantai miniatur sebagai jangkar kapal. Tangannya adalah mesin cekatan yang bekerja secara independen dari tubuhnya, dilatih oleh keahlian setara dokter spesialis bedah jantung dengan presisi hasil praktik bertahun-tahun. Dalam sekejap ia berhasil mengayunkan palunya, dan dengan tangannya yang berhati-hati, hampir feminin, ia berhenti dan tersenyum pada diri sendiri.

Saat itulah dia mendongak dan melihat cahaya lampu yang berkedip-kedip memuakkan yang telah mengganggu konsentrasinya sepanjang malam. Siapa di luar sana yang melakukan itu, mengganggu kerjanya?

Gibran beringsut ke jendela dengan sandal dan celemek kotor di dada, menguak kerai dengan tangannya yang pucat berdebu. Dia mengintip melalui celah sempit ke dunia yang sangat dia benci dan di sana, di rumah di atas bukit, lampu berkedip-kedip. 'Anak-anak sialan mungkin membuat lelucon', pikirnya, dan kembali ke pekerjaannya.

Dia bermain-main sejenak dengan benang yang berfungsi sebagai tali penarik layar, dan kemudian mengintip ke kamar ruang yang dulu menjadi kamar tidur, ke dunia bercahaya yang dia ciptakan di sana. Miniatur pulau Pape'ete dan Mo'orea yang pernah menjadi surga perompak abad ke-17 dengan kapal-kapal berbagai rupa di lautan dan bangunan-bangunan yang dibuat semirip mungkin. Di tengah pulau terbesar berdiri sebuah benteng dengan papan petunjuk bertuliskan Kerajaan Gibran dengan huruf cokelat tebal.

Tidak ada orang lain selain Gibran yang tinggal di Kerajaan Gibran, dan karena itu dia menyukainya. Itu adalah dunianya setelah pacarnya memberitahunya bahwa dia adalah babi yang tidak berharga dan pindah ke pelukan pria lain, meninggalkannya dengan hati patah. Dunia telah mengucilkannya berkali-kali sehingga Gibran memutuskan bahwa inilah gilirannya untuk mengurung diri. Dia membuat dunianya sendiri, jauh dari orang-orang dan semua dusta mereka. Di sini dia merasa damai. Di sini dia adalah Raja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
  19. 19
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun