Dia mengelus jempol kakinya dengan ibu jari. Lidahnya melontarkan kata-kata tak senonoh yang semakin vulgar karena suaranya yang serak oleh nikotin.
Otak kerdilnya yang busuk sama sekali tidak memahami bahwa sesuatu yang aneh sedang terjadi padanya. Firni hanya tahu bahwa dia sedang marah besar dan seseorang harus merasakan pembalasannya yang keji.
Dan dia akan melakukannya.
Tiba-tiba Firni dihadapkan pada sembilan pemuda yang berderet dengan pakaian perlente. Telapak tangan mereka terulur mengajaknya berdansa.
Jangan berasumsi bahwa ada di antara mereka yang berwajah tampan, karena mereka sama sekali tidak memiliki wajah. hanya kulit serupa kanvas kosong dari dahi hingga dagu.
Karena sudah berdandan untuk menghadiri acara pesta, Firni merasa tidak mungkin menolah para pria tanpa wajah yang atletis, jadi dia memilih yang di tengah dan membiarkannya memimpin.
Firni berdansa dengan Belahan Jiwa, berbalik dan melenggok, berputar-putar di ruangan yang sederhana saat yang lain menonton, bertepuk tangan pada keanggunan yang mereka saksikan tanpa bola mata.
Dada Firni membusung dalam egomania dan dia membelai wajah pasangannya, tak peduli bahwa sebenarnya tidak ada apa-apa di sana karena Belahan Jiwa tidak pernah benar-benar memiliki wajah. Wajah tidaklah penting. Dunia ini penuh dengan hal-hal tak bermuka dan tidak penting di hadapan Firni Voermann yang megah, yang terkenal sebagai pusat gravitasi dan gaya melingkar, pasang surut, semua musim dan mata angin serta hal lain yang membuat alam semesta terus ada dalam harmoni yang sempurna.
Tidak ada yang berwajah nyata jika dibandingkan dengan Firni Voermann, yang yakin dirinya adalah Sang Dewi Pujaan.
Apa yang telah diberikan Tuhan, maka Dia bisa mengambilnya kembali kapan saja.
Dan tanpa peringatan, Firni mendapati dirinya sendirian dalam kegelapan sekali lagi, tidak lagi berputar-putar dalam kepalsuan.