Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Dongeng Hitam Putih (3)

12 Juni 2020   10:18 Diperbarui: 12 Juni 2020   13:27 496
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[Sebelumnya .…]

“Dahulu kala, ada sebuah kota kecil di tepi pantai. Penghuninya terdiri dari berbagai kalangan dan profesi: nelayan, penjahit, tukang kue, tukang kayu dan banyak lagi. Mereka senang bekerja dan hidup bahagia. Mereka bekerja, bermain, berolahraga, menikah, berpesta dan hidup bahagia.

Namun suatu hari, orang-orang mulai jatuh sakit. Awalnya hanya beberapa orang, tetapi setiap hari bertambah dan terus bertambah, menjadi lebih banyak setiap hari. Orang-orang yang terjangkit awalnya merasa demam, kemudian batuk-batuk hebat. Tumbuh bisul di wajah dan leher mereka, kulit mereka menjadi pucat. 

Penderita merasakan gatal-gatal dan sesak napas yang sangat menyakitkan, dan pada akhirnya merenggut nyawa mereka. Para dokter tidak dapat melakukan apa pun untuk menghentikannya, karena memang tidak ada obatnya. Satu-satunya pilihan untuk menghentikan penyebaran wabah adalah dengan memasang barikade di jalan-jalan keluar-masuk kota. Tidak ada yang diizinkan untuk pergi, bahkan jika mereka benar-benar membutuhkannya. Pendatang tidak diizinkan untuk keluar.

Salah satu orang yang tinggal di kota adalah seorang guru, yang memiliki seorang istri yang berada di luar kota sebelum wabah terjadi. Istri pergi mengunjungi kerabatnya di kota lain. Ketika kembali, perempuan itu dihentikan oleh penjaga batas kota, yang mengatakan bahwa dia tidak boleh masuk tanpa izin.

Istri sang guru memohon dan memohon kepada penjaga, mengatakan bahwa suaminya, pria yang dicintainya, berada di kota. Penjaga itu akhirnya memberi tahu dia bahwa jika suaminya mengizinkannya, maka dia bisa masuk. Dia juga memperingatkannya bahwa dia tidak akan diizinkan pergi lagi.


Berita dikirim ke sang guru istri tercinta sedang menunggu izinnya di gerbang kota. Pada awalnya, dia sangat gembira karena dapat bertemu istrinya lagi. Dia sangat kesepian sejak ditinggal sang istri. Namun, ketika dia berpikir lebih dalam, hatinya bimbang. Dia menyadari bahwa jika dia mengizinkan istrinya masuk ke kota, bahwa dia akan menghukumnya dengan nasib yang sama dengan seluruh penduduk kota. 

Memikirkan penderitaan yang akan dialami sang istri jika sampai tertular penyakit: demam, batuk-batuk hebat, tumbuh bisul di wajah dan leher, kulit pucat kusam, gatal-gatal dan sesak napas yang sangat menyakitkan, dan pada akhirnya meninggal. Setelah meninggal bahkan harus dikubur dalam peti mati berlapis timah atau dikremasi menjadi abu.

Dia tidak bisa membiarkannya.

Meski sang guru sangat menginginkan kebersamaan bersama istrinya, tetapi dia terlalu mencintainya untuk membiarkannya menerima ajal bersama-sama. Saat menerima utusan penjaga batas, badannya demam yang menjadi gejala awal penyakit. Maka dengan berat dan hati merana dia menolak utusan itu. Hatinya patah, matanya basah oleh rasa bersalah dan kesedihan yang mendalam. Ketika tersiar kabar tentang istrinya yang telah menunggu di gerbang sepanjang hari, hatinya bertambah hancur.

Bertahun-tahun kemudian, setelah istrinya menikah lagi dan membesarkan beberapa anak yang cantik, dia bisa memaafkannya dan dirinya sendiri. Sang guru mengerti bahwa satu-satunya harapan hidup bagi cinta pertamanya adalah terus maju dan menggapai bahagia."


Matahari tak lagi bersinar sembunyi di balik awan. Hujan membuat langit berwarna abu-abu, nyaris putih dibandingkan dengan burung gagak di kusen jendela. Lebih banyak lagi burung gagak muncul ketika Samail menceritakan kisahnya. Begitu banyak sehingga tidak cukup ruang untuk mereka semua. Mereka mulai bertengger di pohon dan pagar.

Nina batuk lagi. Tisunya berubah merah.

“Aku lebih suka cerita barusan daripada yang pertama. Setidaknya tidak berakhir buruk," katanya terengah-engah. "Tapi mengapa Anda menceritakan kisah-kisah sedih padaku?"

Samail menatap Nina tanpa berkedip atau tersenyum. Tak pernah sekalipun berkedip atau tersenyum.

Dengan suara serak dan kering dia menjawab, "Aku pikir kamu tahu mengapa."

Nina menatap tisunya yang penuh noda darah. Dia tahu mengapa. Tapi dia tidak takut. Tidak.

Nina tahu bagaimana harus menjadi berani, dan tidak hanya untuk dirinya sendiri.

Dia menoleh ke Samail, wajah yang hangus dan penuh goresan yang tidak bisa dikenali sebagai manusia.

"Kapan?" Nina bertanya.

Samail menoleh ke jendela, ke arah gerombolan gagak hitam yang berkaok-kaok dengan ramainya.

"Segera," jawabnya.

Bunyi 'bip' dari mesin yang terus memeriksa denyut jantung Nina menjadi tidak teratur, semakin melambat.

"Apakah kita punya cukup waktu untuk satu cerita lagi?" Tanya Nina.

"Tidak banyak, tapi kita bisa mencoba," jawabnya.

Nina menggeleng.

“Tak apa, aku akan mendengarkannya, bahkan jika akhirnya menyedihkan.”

“Ada seorang gadis kecil yang manis. Rambutnya cokelat tua gelap dan mata hijau lebar. Dia menyukai cerita, semua jenis cerita ..."

 ***

Ketika ayah bundanya kembali, mereka menemukan Nina terbaring di tempat tidur. Dia tersenyum tapi tak lagi bernapas. Tak juga terdengar bunyi ‘bip’ dari mesin yang mengawasi detak jantung putri mereka.

Mereka menangis tersedu-sedu. Dokter telah memperingatkan mereka, itu hanya masalah waktu.  Meski begitu, mereka tidak berpikir bahwa akan terjadi secepat itu.

Jiwa mereka hancur, hancur hingga berkeping-keping, tetapi sekaligus lega.

Beban berat telah terangkat, dan sebagai gantinya luka kehilangan yang tajam dan dalam. Mereka merasakannya saat menangis dan menatap keluar jendela kamar.  Menatap langit yang telah berubah menjadi abu-abu kelam pedih. Begitu tenggelam dalam kesedihan, sehingga tidak memperhatikan bekas terbakar di kursi.

Burung gagak beramai-ramai terbang ke barat.

TAMAT

Bandung, 12 Juni 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun