Langit sore itu seperti tahu perasaan mereka. Senjanya tak semerah biasanya. Matahari perlahan tenggelam di ujung samudera, menyisakan gurat jingga yang menggurat langit seperti luka yang tak sempat sembuh. Di dermaga pelabuhan, dua hati berdiri saling berhadapan-dan saling menggenggam perasaan.
Saka, berpakaian lengkap dengan seragam TNI AL-nya, menatap wajah Dina dengan tatapan yang hanya bisa dimiliki oleh seseorang yang sedang menghafal wajah orang yang akan ditinggalkan lama. Dina, guru SD di desa tempat mereka tumbuh bersama, berdiri dengan jaket merah tuanya, rambut tertiup lembut oleh angin laut.
"Aku bawa bekalmu yang kamu suka. Bolu kukus pandan buatan Ibu," kata Dina memaksakan senyum.
Saka mengambil kotak perlahan. "Ibu masih ingat aku suka bolu kukus?"
"Bukan cuma Ibu,aku juga masih hafal". Suaranya nyaris bergetar. "Waktu kecil kamu suka ngumpet di kolong meja cuma buat rebutan bolu."
Saka tertawa pelan. Tawa yang lebih mirip rintik hujan ketimbang sinar mentari.
"Makasih, Na..."ucapnya lirih. "Kamu tahu nggak, setiap aku berlayar, yang paling aku rindukan bukan cuma daratan...tapi suaramu. Dan rumahmu."
"Rumahku?" Dina menatap bingung.
"Tempat aku merasa pulang. Kamu adalah rumahku."
Hening sejenak. Dina menunduk. matanya berkaca-kaca.
"Kalau kamu rumahku, kenapa kamu terus pergi?" tanya pelan, setengah bercanda, setengah menangis.