Saka mengusap Kepala Dina lembut. "Karena cinta juga kadang harus pergi, untuk membela yang lebih besar dari dirinya. Tapi aku selalu kembali untuk kamu."
Kapal di belakang mereka mulai menghidupkan mesin. Suaranya seperti aba-aba dari alam semesta bahwa waktu mereka hampir habis.
Dina mengenggam tangan Saka lebih erat."Abang...boleh aku bilang sesuatu?"
"Apa?"
"Jangan terlalu gagah di depan laut. Jangan terlalu keras pada ombak. Dan jangan lupa bawa rinduku. Biar nanti kamu bisa kembalikan saat kita ketemu lagi."
Saka menggangguk. "Aku janji."
Lalu mereka berpelukan. Bukan pelukan seperti di filim romantis. Ini pelukan dua orang yang tahu bahwa rindu adalah hal yang menyakitkan, tapi tak bisa mereka hindari.
Ketika akhirnya Saka naik ke kapal, Dina menatap dari bawah. matanya tak lepas meski tubuh kekasihnya makin mengecil. kapal perlahan menjauh, membawa serta rindu yang tak bisa di bungkus dengan surat.
Dina masih berdiri di sana, hingga langit benar-benar gelap.
"Selamat berlayar, Abang,"bisiknya. "Aku tunggu kamu di rumah kita-meski rumah itu cuma sebuah kenangan."
Sudah dua bulan sejak kapal itu berlayar, dan Dina masih menyimpan suara Saka dalam pikirannya-suara yang tertinggal di antara tiupan angin dan bunyi kapal yang menjauh hari itu.