Setiap pagi, Dina membuka jendela kamarnya yang menghadap ke bukit. Di sanalah, langit pertama kali mebisikan rindu padanya. Dan setiap sore, ia menulis satu paragraf di buku hariannya. Bukan laporan, bukan jurnal, hanya rindu yang dituangkan dalam bentuk kalimat-kalimat yang tak pernah dikirim.
13 Maret
"Hari ini aku mengajar anak=anak tentang cita-cita. Mereka menyebut jadi dokter, astronot, penyanyi, dan petani. tapi tidak ada yang bilang 'menunggu seseorang yang sedang bertugas di lautan.' Mungkin karena itu bukan cita-cita. Tapi aku menjalaninya setiap hari."
Dina mulai terbiasa dengan hari-hari sunyi. Tapi hatinya tak pernah benar-benar sepi. Ia selalu percaya bahwa rindu tak akan sia-sia jika dijalani dengan ikhlas.
Setiap kali Saka mengirim pesa, itu seperti hadiah kecil dari semesta. Kadang hanya:Â
"Sudah makan, Na?"
Atau:
"Laut tenang hari ini. Tapi hatiku ribut karena kangen kamu."
Pesan-pesan itu disimpannya baik-baik, bahkan ia tulis ulang di halaman belakang buku harian.
Suatu malam, setelah hujan mengguyur deras, Dina menemukan sepucuk surat di teras rumahnya-dalam amplop putih yang sudah agak basah. Tulisan tangan Saka.
Untuk yang sedang sabar menunggu di daratan...