Penyesuaian operasional real-time ini, yang didorong oleh premi ketakutan dan penilaian risiko, menunjukkan bahwa Selat ini secara de facto mengalami gangguan, meskipun tidak secara resmi "ditutup," yang memengaruhi efisiensi dan biaya.
Implikasi Ekonomi dan Pasar Energi Global Ketegangan di Selat Hormuz memiliki konsekuensi ekonomi yang mendalam, terutama pada harga energi dan biaya pengiriman. Harga minyak Brent melonjak hingga $77.47/b pada awal Juni, dengan analis memperingatkan potensi lonjakan hingga $110/b jika terjadi gangguan. Beberapa bahkan memprediksi harga bisa mencapai $150/b dalam skenario terburuk. Premi geopolitik sebesar $12/b sudah tertanam dalam harga Brent karena kekhawatiran terkait Selat. Harga minyak melonjak ke level tertinggi sejak Januari menyusul serangan AS.
Harga LNG juga bisa melonjak, karena ekspor Qatar (25-30% LNG global) sepenuhnya bergantung pada Selat. Reaksi pasar awal terhadap serangan AS adalah kenaikan harga minyak sebesar 6%, tetapi harga kemudian turun karena fokus bergeser ke respons Iran yang kemungkinan terkendali. Premi geopolitik yang tertanam dalam harga minyak mencerminkan penilaian risiko pasar yang berkelanjutan, menunjukkan bahwa bahkan potensi gangguan memiliki konsekuensi ekonomi yang nyata, terlepas dari blokade penuh.
Penutup
Ketegangan yang memuncak di Timur Tengah pada pertengahan tahun 2025, khususnya menyangkut serangan militer langsung antara Amerika Serikat dan Iran serta potensi penutupan Selat Hormuz, telah mengungkap kerentanan mendalam dalam sistem energi global yang saling terhubung. Meskipun blokade fisik atas Selat Hormuz belum terwujud, dampak nyata dari “blokade psikologis”—melalui ancaman, gangguan GPS, premi asuransi, hingga volatilitas harga minyak—telah membuktikan betapa kekuatan persepsi dan ketidakpastian geopolitik dapat menggerakkan pasar global secara drastis.
Ketergantungan negara-negara besar di Asia terhadap jalur energi ini menjadikan kawasan tersebut sangat rentan terhadap krisis serupa di masa mendatang. Pada saat yang sama, tindakan Iran yang terukur menunjukkan kecenderungan strategi asimetris—menimbulkan gangguan tanpa memicu konflik terbuka penuh—guna mempertahankan pengaruh regional sembari menghindari kehancuran ekonomi sendiri. Amerika Serikat pun, melalui serangan bunker-buster dan pengumuman gencatan senjata sepihak, menunjukkan upaya penyeimbangan antara penegakan garis merah dan menghindari eskalasi global yang tidak terkendali.
Dari sisi kebijakan, situasi ini menegaskan kebutuhan mendesak akan diversifikasi sumber energi dan jalur pasokan. Negara-negara konsumen energi harus mengurangi ketergantungan tunggal pada titik-titik chokepoint seperti Hormuz, baik melalui peningkatan kapasitas energi domestik, investasi dalam energi terbarukan, maupun penguatan cadangan strategis dan jalur logistik alternatif.
Bagi pasar global, krisis ini menunjukkan bahwa harga energi tidak hanya digerakkan oleh fundamental permintaan dan penawaran, tetapi juga oleh risiko politik dan persepsi stabilitas jangka pendek. Dalam konteks ini, transparansi komunikasi diplomatik, jaminan maritim internasional, dan mekanisme de-eskalasi menjadi elemen penting dalam menjaga stabilitas pasar dan kepercayaan investor.
Akhirnya, krisis 2025 di Hormuz menjadi cermin reflektif bahwa dalam tatanan global yang saling tergantung, konflik regional tidak pernah bersifat lokal semata. Dampaknya menjalar jauh ke setiap rumah tangga yang mengandalkan energi, setiap perusahaan yang mengelola rantai pasok global, dan setiap negara yang bertumpu pada stabilitas harga dan pasokan. Dunia dituntut tidak hanya untuk tanggap terhadap krisis, tetapi juga membangun arsitektur ketahanan yang lebih adaptif dan berkelanjutan terhadap dinamika geopolitik abad ke-21.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI