Mohon tunggu...
Aulia
Aulia Mohon Tunggu... Dosen Universitas Andalas

Menulis untuk kesenangan dan berbagi

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Persimpangan Geopolitik: Analisis Krisis Selat Hormuz di Tengah Eskalasi Ketegangan Timur Tengah

24 Juni 2025   18:17 Diperbarui: 24 Juni 2025   18:17 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Volume lalu lintas energi yang melalui Selat ini sangat besar. Pada tahun 2024 dan kuartal pertama 2025, rata-rata sekitar 20 juta barel minyak per hari (b/d) melewati Selat, yang setara dengan sekitar 20% konsumsi minyak bumi global dan lebih dari seperempat perdagangan minyak laut global. Selain itu, Selat ini juga menangani sekitar seperlima hingga sepertiga perdagangan LNG global, terutama dari Qatar. Ketergantungan ekonomi-ekonomi utama dunia pada Selat ini sangat mencolok. 

Ekonomi-ekonomi Asia sangat bergantung, menerima 84% minyak mentah dan kondensat serta 83% LNG yang melewati Hormuz pada tahun 2024. Tiongkok, India, Jepang, dan Korea Selatan adalah tujuan utama, menyumbang 69% dari seluruh aliran minyak mentah Hormuz ke Asia. 

Jepang dan Korea Selatan sangat bergantung, dengan 100% impor minyak mentah Timur Tengah mereka melalui Hormuz. Tiongkok mengimpor 38% minyak mentah Hormuz, dan 90% ekspor minyak Iran. India mengandalkan Selat ini untuk setengah dari impor minyak mentah dan 60% impor gas alamnya. Korea Selatan bergantung pada 60-68% minyak mentah, sementara Jepang 75-95%. Bahkan Eropa masih menerima 6 juta b/d aliran Hormuz , meskipun Amerika Serikat hanya mengimpor sekitar 7% minyaknya melalui Selat ini. 

Selat Hormuz lebih dari sekadar jalur energi kritis; ia adalah tulang punggung ekonomi global. Gangguan di sini melampaui pasokan energi langsung untuk memengaruhi rantai pasokan yang lebih luas dan tekanan inflasi di seluruh dunia. Selain minyak dan gas, Selat ini menangani volume besar kargo non-energi seperti barang manufaktur, bahan baku, dan pasokan makanan penting. 

Penutupan akan menyebabkan "kelumpuhan rantai pasokan lengkap" di luar energi, memengaruhi industri dari pertanian hingga ritel. 

Ini menunjukkan bahwa pentingnya Selat ini meluas jauh melampaui bahan bakar, menjadikannya arteri fundamental bagi perdagangan global, dan gangguan apa pun akan memiliki efek berjenjang pada harga konsumen dan pertumbuhan ekonomi secara global. 

Ketergantungan energi ekstrem Asia pada Selat Hormuz menjadikannya korban ekonomi utama dari gangguan berkelanjutan apa pun. Hal ini berpotensi memicu pergeseran geopolitik yang signifikan karena kekuatan-kekuatan Asia berupaya mengamankan pasokan alternatif atau mengerahkan pengaruh. Banyak sumber secara tegas menyatakan bahwa 84% minyak mentah dan kondensat serta 83% LNG melalui Hormuz menuju Asia. 

Tingkat ketergantungan ini berarti bahwa gangguan kecil sekalipun, apalagi penutupan, akan memaksa negara-negara ini membayar harga yang jauh lebih tinggi atau mencari alternatif, yang berpotensi mendorong aliansi baru atau memperkuat yang sudah ada (misalnya, Tiongkok-Iran). Kerentanan ekonomi ini berubah menjadi keharusan geopolitik bagi negara-negara tersebut.

Serangan Amerika terhadap Situs Nuklir Iran

Tindakan Militer dan Manuver Diplomatik Terkini Eskalasi konflik di Timur Tengah telah ditandai dengan serangkaian tindakan militer langsung yang signifikan. Pada 21 Juni 2025, Amerika Serikat melancarkan serangan terhadap tiga fasilitas nuklir Iran: Fordow, Natanz, dan Isfahan. Presiden Trump mengklaim bahwa situs-situs ini "sepenuhnya dan total hancur" atau mengalami "kerusakan monumental". Penilaian awal kerusakan pertempuran menunjukkan "kerusakan dan kehancuran yang sangat parah". 

Fordow, fasilitas yang terkubur dalam, secara khusus ditargetkan dengan bom "bunker-buster" (GBU-57 A/B Massive Ordnance Penetrator). Citra satelit menunjukkan kawah di Natanz dan Isfahan, dan Iran mungkin telah mengisi terowongan untuk melindungi situs. IAEA mengonfirmasi bahwa situs-situs tersebut terkena, tetapi tidak dapat memverifikasi kerusakan bawah tanah di Fordow, meskipun radiasi di luar lokasi tetap normal. Tingkat kerusakan penuh masih belum jelas tanpa akses IAEA. 

Serangan "bunker-buster" AS merupakan eskalasi signifikan yang bertujuan untuk melumpuhkan program nuklir Iran secara permanen. Namun, efektivitas jangka panjang dan potensi konsekuensi yang tidak diinginkan tetap tidak pasti. Penggunaan bom GBU-57 A/B pada situs yang terkubur dalam seperti Fordow menunjukkan pendekatan maksimalis oleh AS untuk "melenyapkan" kapasitas nuklir Iran. Namun, informasi juga menunjukkan bahwa tingkat kerusakan penuh masih dalam penilaian , dan Iran mungkin telah mengambil tindakan perlindungan seperti mengisi terowongan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun