Namun apabila pengajaran sastra terlepas dari pengajaran bahasa, maka alokasi untuk pengajaran sastra tetaplah banyak. Pengajaran sastra tidak akan menghasilkan apa-apa, jika selalu mementingkan pengajaran bahasa saja.Â
Pada kurikulum-kurikulum yang pernah ada pengajaran sastra bukanlah diorientasikan sebagai kebutuhan sastra itu sendiri melainkan bagi kepentingan pengajaran bahasa. Dengan kata lain pengajaran sastra dilaksanakan di sekolah untuk kepentingan keterampilan berbahasa para siswa (berbicara, membaca, menyimak, dan menulis).
Selain faktor-faktor yang sifatnya internal diatas menurut Taufiq Ismail (2003:9) hal lain juga turut memperparah kemerosotan pengajaran sastra dalam waktu hampir 60 tahun ini, yaitu akibat hidup suburnya paradigma dalam dunia pendidikan kita. Akibat adanya pandangan semacam ini, maka tidak heran jika sastra akhirnya dipandang sebelah mata dalam konteks pendidikan di negeri ini.
Pengajaran sastra mampu dijadikan sebagai awal dalam penanaman nilai-nilai moral, seperti disiplin, jujur, pengorbanan, demokrasi, cinta kasih, santun, dan lain sebagainya. Penanaman nilai moral pada pengajaran sastra juga dapat diintegrasikan dalam bentuk puisi, pantun, novel, cerpen, drama, dan lain sebagainya.Â
Guru harus mampu menyeimbangkan pengajaran bahasa dan pengajaran sastra kepada peserta didik.