Bahasa yang digunakan secara sempurna dalam penciptaan sastra, pada hakikatnya merupakan fungsi sebagai sarana komunikasi, yaitu untuk menyampaikan sebuah informasi kepada orang lain.Â
Sastra juga sebagai alat komunikasi yang padat. Untuk mendapatkan dan memahami keindahan karya sastra secara menyeluruh, kita harus memahami bahasa yang digunakan dalam karya sastra tersebut. Karya sastra merupakan karya syarat dengan nilai keindahan dan pendidikan. Didalamnya banyak nilai, pesan, dan amanat yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada pembacanya melalui bahasa yang disampaikan.Â
Menurut Mudini dan Ririk (2007), karya sastra yang telah disusun pengarang dalam medium bahasa tidak tercipta begitu saja. Nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra pada umumnya tidak dituliskan secara eksplisit, tetapi nilai-nilai yang terkandung diungkapkan secara implisit.
Saya ingin menuliskan pembahasan ini karena saya ingin mengetahui apa saja permasalahan yang terdapat di Indonesia mengenai pengajaran sastra. Tujuan dibuatnya pembahasan ini agar para pembaca juga bisa m mamahami apa saja masalah yang ada dalam pengajaran sastra. Manfaatnya adalah agar para pembaca bisa mengetahui dan dapat memberikan saran atas permasalahan pengajaran sastra.
Jika pengajajaran sastra dilakukan dengan telat, maka pengajaran sastra bisa memberikan sumbangsih yang besar terhadap masalah-masalah nyata yang cukup sulit untuk diatasi dalam masyarakat.Â
Menurut Ajip Rosidi (1970) sesungguhnya masalah-masalah yang ada pada pengajaran sastra, secara resmi sudah menjadi bahan perbincangan para pendidikan dan ahli sastra sejak tahun 1955 dalam simposium yang diselenggarakan di Fakultas Sastra UI.Â
Ketidaktercapaian pengajaran sastra yang digelar disekolah kita sudah tentu disebabkan oleh beberapa faktor, H.E. Suryatin (1999:52-53) mengidentifikasi 3 faktor sebagai penyebab masalah pengajaran sastra, yaitu faktor guru, faktor siswa, dan faktor sarana.Â
Khusus mengenai faktor guru, H.E. Suryatin mengidentifikasi 4 hal yang diduga menjadi penyebabnya, yaitu kurangnya pemahaman guru mengenai teori sastra, kurangnya minat guru untuk membaca karya sastra, kurangnya pengalaman guru terhadap apresiasi karya sastra, dan pembahasan kurikulum yang harus disampaikan terlalu luas padahal waktu luang untuk sastra terbatas.
Dan menurut Ahmad Samin Siregar (1999) selain komponen guru dan komponen sarana, komponen lainnya yang menghambat pengajaran sastra adalah faktor kurikulum (belum otonom karena hanya dituangkan sekedar dalam pengajaran bahasa dan masih diorientasikan terhadap kepentingan pengajaran sastra), padahal otonomi pengajaran sastra merupakan salah satu rekomendasi keputusan Kongres Bahasa Indonesia VII tahun 1998.
 Menurutnya juga, dalam kurikulum 1994 porsi pengajaran sastra hanya tersedia seperenam atau kurang lebih 19% dari alokasi keselurahan waktu pengajaran bahasa dan sastra Indonesia. Alokasi waktunya samgat tidak adil, karena bagaimana mungkin guru dapat memberikan pengajaran sastra dengan sempurna jika waktunya sedikit atau terbatas.Â
Alokasi yang dibutuhkan untuk pengajaran sastra setidaknya harus disediakan perbandingan 60:40, atau pengajaran bahasa sebanyak 60% dan pengajaran sastra sebanyak 40% dari jumlah alokasi yang tersedia. Itupun jika pengajaran sastra masih menjadi bagian pengajaran bahasa.Â
Namun apabila pengajaran sastra terlepas dari pengajaran bahasa, maka alokasi untuk pengajaran sastra tetaplah banyak. Pengajaran sastra tidak akan menghasilkan apa-apa, jika selalu mementingkan pengajaran bahasa saja.Â
Pada kurikulum-kurikulum yang pernah ada pengajaran sastra bukanlah diorientasikan sebagai kebutuhan sastra itu sendiri melainkan bagi kepentingan pengajaran bahasa. Dengan kata lain pengajaran sastra dilaksanakan di sekolah untuk kepentingan keterampilan berbahasa para siswa (berbicara, membaca, menyimak, dan menulis).
Selain faktor-faktor yang sifatnya internal diatas menurut Taufiq Ismail (2003:9) hal lain juga turut memperparah kemerosotan pengajaran sastra dalam waktu hampir 60 tahun ini, yaitu akibat hidup suburnya paradigma dalam dunia pendidikan kita. Akibat adanya pandangan semacam ini, maka tidak heran jika sastra akhirnya dipandang sebelah mata dalam konteks pendidikan di negeri ini.
Pengajaran sastra mampu dijadikan sebagai awal dalam penanaman nilai-nilai moral, seperti disiplin, jujur, pengorbanan, demokrasi, cinta kasih, santun, dan lain sebagainya. Penanaman nilai moral pada pengajaran sastra juga dapat diintegrasikan dalam bentuk puisi, pantun, novel, cerpen, drama, dan lain sebagainya.Â
Guru harus mampu menyeimbangkan pengajaran bahasa dan pengajaran sastra kepada peserta didik.