Dalam beberapa tahun terakhir, Jepang dan Indonesia menghadapi fenomena sosial yang serupa; semakin banyak perempuan yang memilih untuk tidak menikah. Di Jepang, semakin banyak perempuan memilih untuk menunda atau bahkan tidak menikah sama sekali. menurut The Japan Times pada tahun 2023 jumlah pernikahan terus menurun menjadi 489.281 pasangan saja. Perdana Menteri Fumio Kishida bahkan menyebut tren ini sebagai "krisis nasional," karena berdampak langsung pada menurunnya angka kelahiran dan meningkatnya jumlah sekolah yang terpaksa tutup akibat berkurangnya anak-anak.Fenomena serupa juga terjadi di Indonesia. Berdasarkan data Kementerian Agama DKI ( Kemenag DKI), Â Jumlah pernikahan yang tercatat di Kantor Urusan Agama (KUA) menurun dari 47.226 pasangan pada 2022, menjadi 44.252 pasangan pada 2023, dan terus turun menjadi 40.472 pasangan pada 2024 dari total populasi 4,2 juta penduduk. Fenomena ini tidak hanya menunjukkan perubahan pola sosial, tetapi juga dari meningkatnya pandangan "Marriage is Scary". Fenomena ini memunculkan pertanyaan; apakah keputusan untuk tidak menikah merupakan bentuk kebebasan baru, atau justru wujud resistensi terhadap sistem patriarki di masyarakat?
Patriarki, sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dan mendominasi peranan dalam kehidupan. Budaya patriarki memandang bahwa perempuan hanya berperan dalam urusan domestik seperti memasak, mengurus anak, dan mengurus rumah tangga, sedangkan laki-laki dianggap memiliki kedudukan tinggi karena perannya sebagai pencari nafkah. Budaya ini tidak hanya ada di lingkungan keluarga, tetapi juga sudah tertanam di tengah masyarakat.
Di Indonesia, nilai-nilai religius dan budaya masih menekankan pentingnya kepatuhan istri terhadap suami sebagai bagian dari moral sosial yang dianggap ideal. Dalam banyak ajaran agama, laki-laki ditempatkan sebagai kepala keluarga dan pengambil keputusan sedangkan perempuan diharapkan tunduk dan berperan dalam mendukung suami. Ungkapan seperti "perempuan baik adalah yang taat pada suaminya" menunjukkan bagaimana norma-norma patriarki terus dilestarikan. Sementara di Jepang, ideologi rysai kenbo () yang berarti "istri yang baik dan ibu yang bijak" berakar sejak era Meiji ketika negara mulai menekankan pentingnya peran perempuan dalam mendukung keluarga yang harmonis demi kemajuan bangsa. Perempuan dengan sosok lembut, setia, dan fokus pada pengasuhan serta urusan rumah tangga menjadi contoh ideal perempuan. Walau Jepang telah mengalami modernisasi dan perempuan sekarang memiliki akses luas ke pendidikan dan dunia kerja, nilai-nilai rysai kenbo masih tertanam kuat dalam budaya sosial maupun dunia kerja. Perempuan Jepang yang memilih fokus pada karier atau tidak menikah kerap dipandang egois atau "tidak feminin."
Kedua sistem ini menunjukkan bagaimana peran gender tradisional masih membatasi ruang gerak perempuan. Namun, di tengah perubahan sosial dan meningkatnya kesadaran akan kesetaraan, semakin banyak perempuan yang mulai mempertanyakan dan menolak peran tradisional tersebut salah satunya melalui keputusan untuk tidak menikah.
Di Jepang, semakin banyak perempuan yang memilih untuk menunda atau tidak menikah. Mereka mulai memprioritaskan diri sendiri, karier, serta kebebasan hidup dibandingkan mengikuti tekanan sosial untuk menikah dan membangun rumah tangga. Pilihan ini sering diiringi dengan pandangan negatif. Perempuan lajang di atas usia 25 tahun sering mendapatkan julukan "kue Natal", yang berasal dari pandangan bahwa seperti kue Natal yang tidak laku setelah tanggal 25 Desember, perempuan yang belum menikah setelah usia 25 dianggap "tidak diminati." Namun pandangan itu perlahan berubah dan mulai banyak perempuan yang bagga dengan hidup mandiri, lebih memilih fokus pada karir dan kebahagiaan pribadi. Banyak perempuan lajang di Jepang juga menilai kehidupan pernikahan teman-teman mereka tidak selalu ideal. Seorang petugas administrasi sekaligus penari, Shigeko Shirota (48), mengatakan: "Tidak adil jika perempuan hanya diam di rumah dan menjadi ibu rumah tangga. Ada teman yang menggambarkan suaminya sebagai 'bayi raksasa' yang justru menambah beban." Pandangan ini menunjukkan adanya perubahan nilai sosial di Jepang, dimana perempuan mulai menolak peran domestik tradisional dan memilih hidup mandiri baik secara finansial dan emosional.
Sementara itu, di Indonesia fenomena serupa juga sedang marak terutama di kalangan perempuan muda perkotaan. Perempuan kini memiliki akses pendidikan dan pekerjaan yang lebih luas, sehingga mampu menghidupi dan mencukupi kebutuhan hidup tanpa bergantung pada suami.
Dikutip oleh detikHealth (2025), perempuan bisa jauh lebih stabil secara finansial ketika hidup sendiri. Meski begitu stigma sosial terhadap perempuan yang belum menikah masih kuat di Indonesia. Mereka sering dilabeli "tidak laku" atau dianggap melawan kodrat. Namun mulai banyak muncul gerakan perempuan yang mendobrak pandangan tersebut. Fenomena ini menunjukkan bahwa perempuan Indonesia pun sedang melakukan bentuk perlawanan yang sama terhadap sistem patriarki. Bukan dengan teriak di jalan, tetapi dengan membuat pilihan hidup yang berbeda: memilih diri sendiri.
Pilihan untuk tidak menikah sering kali dianggap egois atau menentang kodrat. Namun jika dilihat dari kacamata sosial, keputusan ini merupakan bentuk resistensi dalam diam. Perempuan menolak untuk terus-menerus diukur dari status pernikahan atau kemampuan mereka menjadi istri yang "baik". Dalam masyarakat modern, perempuan menegaskan hak atas tubuh mereka, waktu, karier, dan kebahagiaan pribadi. Mereka tidak ingin lagi ingin menjadi sosok yang "sempurna" di mata sosial, tetapi menjadi manusia yang bebas dalam menentukan nasib dan arah hidupnya. Ada kutipan favorit saya dari buku "Perempuan di Titik Nol", "Perkawinan adalah lembaga yang dibangun atas penderitaan yang paling kejam untuk wanita". Memilih untuk tidak menikah jika itu berarti kehilangan diri sendiri.
Tren tidak menikah bukanlah penolakan terhadap cinta atau hubungan romantis. Banyak perempuan yang tetap menjalin hubungan, hanya saja tidak ingin mengikatnya dengan struktur sosial yang seringkali menekan perempuan. Pandangan ini, baik di Jepang maupun di Indonesia, menandai adanya perubahan besar dalam cara berpikir dan cara pandang perempuan dalam memaknai kebebasan. Jika dulu pernikahan menjadi tujuan akhir, kini kebahagiaan pribadi, kestabilan finansial, dan ruang untuk berkembang menjadi prioritas utama. Perempuan masa kini tidak lagi mencari kebahagiaan dari status menjadi istri, kini mereka menemukannya dari keberanian untuk hidup sesuai dengan keinginan diri sendiri, keberanian untuk mendobrak stigma negatif dari masyarakat. Keputusan perempuan untuk tidak menikah adalah bentuk negosiasi terhadap kebebasan di tengah masyarakat yang masih diatur dengan logika patriarki. Mungkin ini adalah salah satu bentuk perlawanan paling elegan yang bisa dilakukan perempuan. Tidak dengan perdebatan keras, tetapi dengan pilihan hidup yang tenang dan menjadi diri sendiri.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI