Surat darimu telah kuterima. Goresan tintamu membuat aku cemburu dalam rindu. Aku tak pandai membaca. Engkau tahu itu dan paling tahu dariku. Aku juga tak pandai menulis. Jangan harap aku membalas suratmu. Maaf bukannya aku sengaja. Rindu tahu semua itu.
Kertas tua ini sederhana. Sesederhana gubuk kita yang tak bisa menahan sejuta titik hujan semalam. Aku tak menyangkal apa, siapa, dan bagaimana hidupku. Semuanya karena aku tak mau menyangkal Rahim yang telah melahirkanku.
Ayah pergi saat ibu melahirkanku. Di gelap malam ibu mengisahkannya. Kisah yang tak pernah kulupakan. Kisah tentang ayah yang selalu hadir dalam bahagia derita hidupmu. Bahagia derita aku dalam kandungan.
Air mata mengalir dalam bahasa batinku. Kau hiasi kertas tua ini untuk menyampaikan kata rindumu. Aku tak bisa menahan tangis di akhir surat cinta darimu. Katupan tangan dalam gambar wajah tersenyum mewakili kata hatimu rindu pada ayah.
Aku tahu emoji rindu ini. Kau harapkan doa dalam kesadaranku pada malam. Hingga tidur menepuk batin tuk harap adamu dalam mimpiku. Emoji rindu telah terpahat dalam pelupuk hatiku tuk katakan selamat malam pada ayah. Tuk ucapkan selamat tidur pada ibu.
Ini bukan surat pertama yang kau goreskan dengan emoji rindu. Tangan ini terus terbuka untuk menerima surat darimu. Dalam lelap dan mimpi aku selalu membuka telapak tangan ini. Surat ibu telah abadi di batinku. Kuharap kita selalu menyapa dalam suara rindu. Ibu tetaplah menjadi emoji rinduku.
Yogyakarta, 23 Januari 2019 -Â