Appeal to Tradition merupakan salah satu Logical Fallacy yang sering ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Merajuk pada buku Logical Fallacy karya Muhammad Nurudin, Appeal to Tradition ini memiliki makna bahwa suatu kebenaran dianggap benar karena bermodalan tradisi turun temurun. Secara jelasnya, orang menerima suatu praktik sebagai hal yang benar atau wajib hanya karena hal tersebut sudah dilakukan secara turun-temurun, tanpa menguji kembali apakah praktik tersebut memiliki dalil kuat yang mendasarinya atau tidak. Mungkin kejadian ini sering kita temui dalam kehidupan sehari-hari ataupun lingkungan kita itu sendiri.
Fenomena dari Appeal To Tradition ini tidak jarang juga hadir dalam praktik keagamaan, terkhusunya dalam bidang ibadah. Dengan dalih "lah, ini budaya sudah dari dulu memang begini!" atau "leluhur kita yang mengajarkan hal tersebut" menjadi penguat argumen mereka terhadap praktik ibadah yang mereka lakukan. Terdapat sebuah kaidah fikih dalam menanggapi hal ini, yaitu:
"Hukum asal ibadah adalah haram (sampai adanya dalil)."
      Dan disebutkan juga dalam Hadis
"Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak." (HR. Bukhari no. 20 dan Muslim no. 1718). Dalam riwayat lain disebutkan,
Maka, ibadah yang benar adalah ibadah yang sesuai dengan tuntunan Al-Qur'an dan Sunnah, sementara ibadah yang hanya lahir dari kebiasaan leluhur tanpa dasar yang kuat bisa menjerumuskan pada praktik yang keliru. Sayangnya, appeal to tradition seringkali membuat seseorang merasa aman dalam beragama. Mereka berpikir, "kalau semua orang melakukan ini sejak dulu, pasti benar adanya." Cara berpikir seperti ini sekilas benar dam terasa aman, tapi sejatinya berbahaya. Ia menutup pintu kritis nalarnya terhadap kebenaran dalil, dan menjadikan tradisi sebagai dalil pengganti wahyu. Akibatnya, masyarakat bisa terjebak pada ibadah-ibadah yang hanya "formalitas budaya," bukan ketaatan sejati kepada Allah.
Namun, dalam konteks ibadah, Appeal to Tradition sering kali menjerumuskan umat pada praktik ritual yang kehilangan ruh, makna, bahkan dalil syariat yang seharusnya menjadi pijakan utama. Misalnya, seseorang bisa saja menjalankan ritual tertentu hanya karena "begitulah cara orang tua atau leluhur saya melakukannya," tanpa pernah bertanya: apakah ada dasar Al-Qur'an, hadis sahih, atau penjelasan ulama yang benar-benar kuat? Pada titik inilah, tradisi bisa menjadi pedang bermata dua: di satu sisi menjaga kesinambungan identitas keagamaan, namun di sisi lain berpotensi mengaburkan batas antara syariat dengan kebiasaan.
Lebih jauh, persoalan ini tidak hanya berhenti pada level individu atau perorangan, melainkan juga menular dalam ruang dakwah. Banyak penceramah atau tokoh agama yang, mungkin tanpa mereka sadar, menjadikan tradisi sebagai dalil utama. "Karena leluhur kita begini, maka itu benar." "Karena nenek moyang kita melakukan itu, maka itu wajib." Narasi-narasi seperti ini memang terasa meyakinkan secara emosional, tetapi lemah secara epistemologis. Dakwah yang terjebak pada Appeal to Tradition sering kehilangan daya kritis, dan alih-alih mencerahkan umat, justru bisa melestarikan kesalahpahaman.
Uniknya, fenomena ini sendiri juga telah berkali-kali tercatat dalam Al-Qur'an yang mana menceritakan ketika kaum musyrik pada saat itu menolak kepada ajaran Nabi Muhammad SAW dengan alasan "Kami hanya mengikuti apa yang kami dapati dari nenek moyang kami." (QS. Al-Baqarah: 170). Kritik Al-Qur'an ini tegas: sebuah keyakinan atau praktik tidak otomatis benar hanya karena diwariskan. Islam menuntut dalil, rasionalitas, dan kejelasan sumber, bukan sekadar pembenaran lewat warisan.
Di sinilah pentingnya menghubungkan ibadah dengan dalil dan nalar. Dalil menjaga kita tetap berada dalam koridor wahyu, sementara nalar membantu kita memahami dan mengontekstualisasikan praktik ibadah dalam kehidupan nyata. Keduanya saling melengkapi. Dalil tanpa nalar bisa menjadi kaku dan membeku, berlaku juga dengan nalar tanpa dalil bisa liar dan terlepas dari akarnya. Maka, seorang Muslim sebaiknya tidak puas dengan jawaban "karena ini sudah tradisi," melainkan bertanya, mencari, dan menimbang: "apa dalilnya, apa maknanya, dan bagaimana logika ajaran ini?"
Maka yang perlu dipahami sekarang ini adalah, bahwa dalam beribadah juga perlu adanya menyesuaikan dengan nalar yang juga disertai dalil yang kuat. Tidak bisa semerta-merta melakukan hanya dengan berlandasan "ya begini karena sudah dari dulu begini", melainkan harus tetap memberikan dasar yang jelas, melalui Al-Qur'an, hadis, maupun ijtihad ulama yang kredibel. Di sinilah, penting bagi umat Islam masa kini untuk mulai membiasakan diri dengan budaya bertanya dan meneliti dalil. Tidak semua tradisi harus ditolak, tetapi semua tradisi perlu diuji. Apakah telah sesuai dengan dalil yang kuat? Dengan begitu, ibadah tidak hanya akan jadi warisan semata, tetapi juga jadi kesadaran.
Pada akhirnya, Appeal to Tradition perlu untuk diperhatikan dengan seksama. Benar tidaknya suatu tradisi, tidak bisa digantungkan terhadap penerimaan masyarakat atas tradisi itu sendiri. Muhammad Nurudin juga dalam bukunya, telah mengutip bahwa kebenaran tak diketahui melalui kebiasaan. Akan tetapi kebenaran bisa diketahui melalui dalil dan pembuktian. Tradisi memang penting, karena ia menjaga kesinambungan identitas umat. Tetapi tradisi tidak boleh membelenggu, apalagi menggantikan wahyu. Warisan leluhur perlu dirawat dengan nalar kritis, sehingga yang sesuai dalil bisa dilestarikan, dan yang tidak sesuai bisa ditinggalkan. Dengan demikian, kita bisa beribadah bukan hanya karena "dulu sudah begitu," melainkan karena yakin, paham, dan sadar bahwa ibadah tersebut benar-benar bersandar pada dalil yang sahih serta nalar yang sehat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI