Mohon tunggu...
Asmawati Rasyid
Asmawati Rasyid Mohon Tunggu... Blogger

seorang fulltime blogger

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Antara Syukur dan Spreadsheet

29 Juli 2025   14:51 Diperbarui: 30 Juli 2025   10:34 496
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nenekku pernah bercerita, kalau dulu urusan keuangan keluarga sederhana saja. Gaji kakek yang seorang ASN cukup untuk makan, bayar ongkos sekolah anak, dan sedikit ditabung untuk lebaran nanti merupakan suatu hal yang dianggap sebagai keberkahan dan keberhasilan.

Tidak ada kesibukkan mengatur keuangan menggunakan spreadsheet, mengkalkulasi pakai aplikasi keuangan bahkan sampai pakai jasa  konsultan keuangan. 

Pad zaman dulu cukup simpel saja, semua uang aman disimpan di bawah bantal, atau di kaleng biskuit Khong Guan yang isinya bukan lagi kue.

Keluarga jaman dulu percaya bahwa asal hidup hemat, rezeki tak akan ke mana. Slogan banyak anak, banyak rezeki memang betul adanya.

Tak ada istilah "passive income" tapi Alhamdulillah ada saja tetangga yang selalu siap membantu saat  keadaan darurat.

Sekarang, mengapa segalanya terasa lebih repot ya?

Keluarga muda jaman nenekku tidak ada itu pakai istilah financial freedom, dana darurat, portfolio investasi, bahkan side hustle (istilah apalagi tuh hahaa).

Tanpa disadari (termasuk saya tentunya) bekerja dari pagi ke malam bukan sekadar cari makan, tapi juga untuk mengejar target yang entah siapa yang telah menerapkan (tuh bingung kaan? ).

Memang sih, satu sisi menggunakan aplikasi keuangan semua jadi lebih terencana.

Uang bisa diatur dengan baik, investasi bisa dimulai dari Rp10.000.. Etapi di sisi lain, ada yang hilang, yaitu "ketenangan". Seperti mimpi buruk, kiita dihantui rasa takut tertinggal, takut tak cukup kaya untuk menyekolahkan anak., takut tua tanpa pensiun.

takut dimasa depan tua dan miskin, plus sakit-sakitan lagi ( aihh lengkap deh penderitaan wkwk) padahal sebenarnya hari ini tuh tercukupi, bahkan mungkin bisa sedikit menabung.

Kalau dulu, orang tua kita bisa membesarkan lima anak bahkan lebih dengan satu penghasilan. Kini, dua orang bekerja belum tentu cukup untuk menutupi kebutuhan satu anak ditambah lagi jika ada cicilan KPR, biaya daycare, cicilan kendaraan dan rencana liburan keluarga setahun sekali.

Pastinya bukan karena kita boros, tapi karena dunia hari ini memang menuntut lebih. Biaya hidup melonjak, standar gaya hidup berubah, dan tekanan sosial semakin kuat.

Beli gak ya?, dokpri Asmawati 
Beli gak ya?, dokpri Asmawati 
Belajar dari Orang tua terdahulu

Saya simak betul, cerita bahwa nenek dulu santai dan tak pernah panik soal masa depan. beliau percaya bahwa rezeki itu akan datang kalau kita rajin, jujur, dan tidak pelit.

Kakekku tidak pernah ikut seminar finansial, tapi orang tuaku beserta saudara-saudaranya tetap bisa sekolah bahkan ada yang sampai sarjana. Mereka tidak punya portofolio investasi, tapi selalu puny keluasan untuk sedekah.

Apa yang membedakan?

Mungkin mereka lebih banyak bersyukur daripada menghitung. Mereka lebih sibuk membangun relasi daripada menata angka.

Sebagai keluarga muda (termasuk saya lagi lho ya), kita tentunya tak bisa sepenuhnya kembali ke cara lama. 

Kini zaman sudah berbeda. Kita tetap butuh spreadsheet, aplikasi keuangan, dan strategi finansial yang baik. Tapi kita juga perlu membawa satu hal yang tidak bisa dihitung yakni rasa syukur.

Saya pribadi tidak menyarankan kita untuk mengabaikan perencanaan keuangan. Sebaliknya, saya percaya pengelolaan keuangan adalah bagian dari ikhtiar. Tapi disisi lain saya juga percaya bahwa spreadsheet tidak bisa menyelesaikan semuanya.

Karena pada akhirnya, kita tidak sedang membangun portofolio, akan tetapi membangun keluarga. Kita tidak sedang mengejar saldo rekening, tapi menciptakan rumah yang damai.

Dan itu tak selalu datang dari angka, tapi dari hati yang tahu kapan cukup, dan tangan yang tahu kapan memberi.

Penutup

So, jika sampai hari ini kita masih merasa jauh dari kata mapan, gak masalah. Yakinlah kita tidak sendiri. Cuan memang penting, tapi jangan sampai mengambil kebahagiaan yang sudah ada di depan mata kita.

Karena hidup tak melulu soal angka. Kadang, yang kita butuhkan hanya menyeruput secangkir kopi sore, canda tawa anak di ruang tamu, dan bisikan kata syukur dalam hati. Semoga bermanfaat dan terima kasih.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun