takut dimasa depan tua dan miskin, plus sakit-sakitan lagi ( aihh lengkap deh penderitaan wkwk) padahal sebenarnya hari ini tuh tercukupi, bahkan mungkin bisa sedikit menabung.
Kalau dulu, orang tua kita bisa membesarkan lima anak bahkan lebih dengan satu penghasilan. Kini, dua orang bekerja belum tentu cukup untuk menutupi kebutuhan satu anak ditambah lagi jika ada cicilan KPR, biaya daycare, cicilan kendaraan dan rencana liburan keluarga setahun sekali.
Pastinya bukan karena kita boros, tapi karena dunia hari ini memang menuntut lebih. Biaya hidup melonjak, standar gaya hidup berubah, dan tekanan sosial semakin kuat.
Saya simak betul, cerita bahwa nenek dulu santai dan tak pernah panik soal masa depan. beliau percaya bahwa rezeki itu akan datang kalau kita rajin, jujur, dan tidak pelit.
Kakekku tidak pernah ikut seminar finansial, tapi orang tuaku beserta saudara-saudaranya tetap bisa sekolah bahkan ada yang sampai sarjana. Mereka tidak punya portofolio investasi, tapi selalu puny keluasan untuk sedekah.
Apa yang membedakan?
Mungkin mereka lebih banyak bersyukur daripada menghitung. Mereka lebih sibuk membangun relasi daripada menata angka.
Sebagai keluarga muda (termasuk saya lagi lho ya), kita tentunya tak bisa sepenuhnya kembali ke cara lama.Â
Kini zaman sudah berbeda. Kita tetap butuh spreadsheet, aplikasi keuangan, dan strategi finansial yang baik. Tapi kita juga perlu membawa satu hal yang tidak bisa dihitung yakni rasa syukur.
Saya pribadi tidak menyarankan kita untuk mengabaikan perencanaan keuangan. Sebaliknya, saya percaya pengelolaan keuangan adalah bagian dari ikhtiar. Tapi disisi lain saya juga percaya bahwa spreadsheet tidak bisa menyelesaikan semuanya.