WARUNG kopi itu tak pernah sepi dari cerita. Hujan sore menjadi saksi bisu ratusan percakapan manusia yang singgah sebentar, meletakkan bebannya, lalu pergi lagi.
Koko dan Rike duduk di pojok, jauh dari keramaian. Gelas kopi mereka masih penuh, tapi hati mereka sudah terlalu sesak.
"Ke" suara Koko berat, "kamu tahu kenapa aku sering menghilang akhir-akhir ini?"
Rike mengangkat alisnya. "Aku menduga ada sesuatu. Tapi aku memilih menunggumu bercerita."
Koko menatap keluar jendela. Lampu jalan mulai menyala, berpendar samar di atas genangan air hujan. "Aku sudah terlalu lama menahan tangis. Sejak ayah pergi, aku seperti dipaksa menjadi pilar keluarga. Semua orang bilang aku harus kuat. Padahal aku cuma bocah dua belas tahun waktu itu."
Rike menaruh gelasnya, Â "Jadi sejak saat itu kamu belajar menyembunyikan air mata?" tanya Rike, penasaran.Â
Koko mengangguk. "Ibuku selalu bilang, 'jangan menangis, nanti adikmu ikut lemah.' Kata-kata itu menempel seperti paku di dinding hatiku. Sampai sekarang aku takut terlihat rapuh."
Hening merayap di antara mereka. Di luar, suara rintik sisa hujan terdengar seperti alunan musik yang pelan dan menyayat hati.Â
Rike lalu berkata, "Koko, tangisan bukan tanda rapuh. Ia adalah bahasa yang lebih jujur dari kata-kata. Lihatlah langit, ia menangis dengan hujan agar bumi kembali hidup. Tanpa tangis, dunia ini gersang."
Koko menoleh. "Tapi aku ini laki-laki. Semua orang menuntut ku jadi batu karang."
"Batu karang pun bisa retak dan pecah," jawab Rike cepat. "Dan di retakannya, air masuk, menumbuhkan lumut, yang menopang kehidupan baru. Nah, apa gunanya jadi karang yang keras tapi kosong di dalamnya?"
Mata Koko mulai berkaca-kaca. Ia mencoba menahan tangisnya, meski tubuhnya bergetar. "Aku benci perasaan ini. Tapi aku juga rindu untuk jujur pada diriku sendiri."
"Lepaskan saja," bisik Rike lembut. "Aku di sini. Tidak ada yang akan menghakimi."
Air mata Koko akhirnya jatuh. Ia menunduk. Bahunya bergetar. Tangannya mengepal di atas meja, lalu perlahan melonggar, seperti rantai yang akhirnya dilepas.
"Aku sudah terlalu lama berpura-pura," isaknya. "Aku lelah jadi topeng yang tersenyum, padahal dalamnya rapuh."
Rike menatapnya dengan mata basah, bukan karena iba, tapi karena ikut merasakan luka yang dipendam sahabatnya. "Menangislah. Tangisanmu bukan kelemahan, melainkan pengakuan bahwa kau manusia. Dan manusia hanya bisa pulih kalau berani jujur."
Beberapa pengunjung warung menoleh, tapi Rike tak peduli. Ia tahu, momen ini bukan tentang gengsi, melainkan tentang jiwa yang lelah, yang butuh jeda.
Setelah lama terisak, Koko mengangkat wajahnya. Matanya merah, tapi napasnya lebih lega. "Aku merasa kosong, tapi entah kenapa kosong ini menenangkan. Seperti tanah kering yang baru saja dibasahi hujan."
"Benar," ujar Rike tersenyum. "Kosong itu bukan kehampaan, tapi ruang. Ruang untuk menanam sesuatu yang baru."
Koko terdiam. Senyum kecil akhirnya muncul di bibirnya. "Mungkin aku hanya butuh menangis, bukan untuk menyerah... tapi untuk memulai lagi."
Di luar, hujan benar-benar berhenti. Langit malam terbuka, memperlihatkan bulan yang perlahan muncul di antara awan.
Di dalam warung kecil itu, Koko akhirnya belajar satu hal sederhana yang ia lupakan sejak lama, bahwa kadang manusia hanya butuh satu izin kecil. Izinkan aku menangis sejenak. Weleh, weleh, weleh.(*)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI