"Ada hal-hal," katanya perlahan, "yang tak bisa dijelaskan kepada mereka yang belum pernah mengalaminya. Dan ada rasa yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang pernah ditinggal saat butuh digenggam. Yang pernah menjerit tanpa suara di tengah keramaian."
Pria itu mengangguk, tapi matanya kosong. Ia tetap saja belum mengerti.
Endah tahu, lalu tersenyum. "Suatu hari  kau akan memahaminya. Tatkala kau memegang gelas  retak dan tak tahu kapan ia akan pecah. Atau saat engkau melihat seseorang menutup pintu tanpa menjelaskan alasannya. Saat itu, kau akan tahu, mengapa beberapa dari kita, pada momen tertentu, memilih untuk diam. Sebab berkata-kata terkadang hanya semakin menyakiti sesuatu yang sudah cukup terluka."
Kopi kembali diaduk, meski tak ada yang larut.
Dan ...
Sore itu, waktu tetap berputar seperti biasa. Tapi satu orang pulang dengan hati yang sedikit lebih berat. Bukan karena ia terluka, tapi karena ia mulai sadar, bahwa memahami bukan tentang mendengar, tapi tentang menjalani dan mengalami. Weleh, weleh, weleh.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI