Namanya Endah. Ia duduk sendiri di sudut kafe yang tak pernah ramai. Menghadap jendela yang memantulkan lebih banyak kenangan daripada cahaya. Tak ada yang tahu terlalu banyak tentangnya. Selain, bahwa ia selalu memesan kopi yang sama. Hitam, tanpa gula. Seperti malam yang ia peluk tiap kali pulang.
Sore itu, seorang pria, duduk tak jauh darinya. Ia membawa novel yang sama dengan yang pernah dibaca Endah di bangku kuliah, Manusia dan Peristiwa. Mereka bertukar pandang. Lalu diam. Seperti dua batu di dasar sungai. Saling tahu keberadaan masing-masing. Namun, terlalu berat untuk bergerak.
"Kenapa kau selalu sendiri?" tanya pria itu akhirnya.
Endah menatapnya, bukan dengan mata, tapi dengan beban derita yang ia pikul. "Karena ramai tak selalu berarti ditemani."
Ia mengaduk kopi hitamnya yang sudah lama dingin. Seolah masih berharap sesuatu bisa larut di dalamnya.
Pria itu tertawa kecil. "Kau seperti baris puisi yang terlalu gelap untuk dibacakan keras-keras."
"Dan kau seperti orang yang ingin memahami dan langsung menyimpulkan tanpa membaca seluruh isi buku."
Hening lagi.
"Aku hanya ingin tahu," katanya, lebih pelan. "Apa yang membuat seseorang memilih diam di tengah dunia yang tak pernah berhenti bicara?"
Endah menoleh ke arah cermin jendela. Di sana, ia melihat bayangan dirinya di masa lalu. Tersenyum utuh. Percaya bahwa semua luka akan sembuh seperti demam yang mereda setelah tidur yang panjang. Namun hidup tak seperti suhu tubuh. Terkadang ada luka yang sembuh, agar bisa sakit lagi saat disentuh.