Mohon tunggu...
Ashri Riswandi Djamil
Ashri Riswandi Djamil Mohon Tunggu... Belajar, belajar, dan belajar

wkwk land

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Eksploitasi Sistem "Panggilan Jiwa" dalam Dunia Pendidikan

23 April 2025   15:01 Diperbarui: 23 April 2025   15:01 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Ada peribahasa baru yang berkembang di kalangan guru honorer: "Jangan mimpi punya martabat, kalau masih bingung beli martabak." Ini sindiran pahit tapi nyata. Karena bagaimana bisa seorang guru, dengan beban mengelola 30-40 siswa per kelas, dituntut membuat perangkat ajar, laporan administrasi, ikut pelatihan, mengelola kelas daring dan luring, tapi tidak bisa membawa pulang gaji layak setiap bulan?

Ini bukan tentang manja. Ini tentang keadilan. Tentang bagaimana bangsa ini meletakkan prioritasnya. Karena jika kita benar-benar ingin pendidikan yang bermutu, kita tak bisa lagi hanya bicara soal kurikulum dan asesmen. Kita harus mulai bicara soal siapa yang mengajar dan bagaimana mereka hidup.

Menghentikan Eksploitasi, Memulai Reformasi

Langkah pertama untuk memperbaiki ini semua adalah berhenti mengkultuskan penderitaan. Guru yang baik bukanlah yang sabar terus-menerus diperlakukan tidak adil. Tapi yang berani menyuarakan apa yang seharusnya adil untuk profesinya.

Pemerintah, yayasan, bahkan masyarakat, harus berhenti menggunakan "panggilan jiwa" sebagai selimut untuk ketidakberesan sistem. Sudah saatnya sistem pendidikan ini dibangun atas dasar profesionalisme dan penghargaan yang nyata. Karena tidak ada guru yang bisa mendidik dengan penuh semangat jika setiap hari ia dibayangi kekhawatiran tak bisa membayar kontrakan.

Penutup: Saatnya Mengakhiri Romantisme Buta

Sudah terlalu lama dunia pendidikan kita terjebak dalam romantisme buta. Kita memuja guru sebagai pahlawan, tapi lupa memperlakukan mereka sebagai manusia. Kita mendorong mereka untuk berjuang tanpa pamrih, tapi tak memberi ruang bagi mereka untuk hidup layak. Kita memanfaatkan "panggilan jiwa" sebagai penenang rasa bersalah, padahal sejatinya itu menjadi dalih untuk menunda keadilan.

Sudah saatnya kita bertanya dengan jujur:
 Apakah benar pendidikan bisa maju jika para pengajarnya terus dipaksa "ikhlas" dalam kemiskinan, dalam tekanan, dan dalam sistem yang tidak adil?
 Apakah pantas kita berbicara tentang kualitas pendidikan, bila fondasinya---yakni guru---masih terus dicederai oleh ketimpangan struktural dan miskinnya penghargaan?

Guru memang butuh panggilan jiwa. Tapi mereka juga butuh gaji. Butuh perlindungan. Butuh ruang tumbuh. Dan butuh dihargai tanpa harus "mati dulu" agar dijuluki pahlawan.

Solusi: Dari Retorika ke Perubahan Nyata

  1. Reformasi Kesejahteraan Guru, Terutama Honorer
     Pemerintah pusat maupun daerah harus berhenti bersembunyi di balik kekurangan anggaran. Jika pendidikan adalah prioritas nasional, maka penghargaan pada guru harus menjadi bagian dari rencana besar pembangunan. Sistem penggajian dan rekrutmen guru honorer perlu diperjelas dan distandardisasi agar tidak ada lagi guru yang mengajar puluhan tahun dengan honor tak sampai UMR.

    HALAMAN :
    1. 1
    2. 2
    3. 3
    4. 4
    Mohon tunggu...

    Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
    Lihat Pendidikan Selengkapnya
    Beri Komentar
    Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

    Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun