Mohon tunggu...
Ashri Riswandi Djamil
Ashri Riswandi Djamil Mohon Tunggu... Belajar, belajar, dan belajar

wkwk land

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Eksploitasi Sistem "Panggilan Jiwa" dalam Dunia Pendidikan

23 April 2025   15:01 Diperbarui: 23 April 2025   15:01 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Sudah terlalu sering kita mendengar kalimat, "Menjadi guru itu panggilan jiwa." Sebuah frasa yang terdengar mulia, luhur, penuh semangat pengabdian. Tapi benarkah itu masih pantas dijadikan fondasi utama sistem pendidikan kita? Ataukah ia telah menjadi kedok paling halus untuk menutupi eksploitasi terhadap ribuan guru yang setiap hari mengabdi, tanpa jaminan hidup layak?

Dalam sistem yang seharusnya profesional, rasional, dan terukur, justru "panggilan jiwa" sering dijadikan justifikasi terhadap ketidakadilan. Seolah karena guru bekerja dengan hati, maka tak perlu dipikirkan bagaimana perutnya, rumahnya, atau masa depannya. Padahal yang diurus guru setiap hari adalah masa depan bangsa. Ironis, bukan?

Panggilan Jiwa: Idealisme yang Disalahgunakan

Mari kita lihat realitasnya. Banyak guru honorer, terutama di sekolah swasta kecil di kota besar, telah mengabdi belasan tahun dengan gaji di bawah UMR. Bahkan ada yang hanya menerima honor ratusan ribu sebulan. Sementara ongkos hidup di kota terus melonjak: dari harga beras, biaya transportasi, sampai uang sekolah anaknya sendiri.

Saat mereka mengeluh atau sekadar bertanya soal kejelasan status dan kesejahteraan, jawaban yang datang nyaris seragam: "Kalau tidak ikhlas, jangan jadi guru." Atau versi lebih halusnya: "Ini soal pengabdian."

Di titik ini, frasa "panggilan jiwa" berubah dari semangat luhur menjadi alat tekanan. Tekanan sistemik yang tidak datang dari satu orang, tapi dari budaya birokrasi, ketimpangan struktural, hingga persepsi masyarakat sendiri yang belum menganggap guru sebagai pekerja profesional yang layak diberi kompensasi setara tanggung jawabnya.

Cinta yang Tidak Dibayar

Bekerja dengan cinta memang indah. Tapi cinta yang terus-menerus tidak dibayar akan melahirkan kelelahan yang dalam. Dan dari kelelahan itulah, lahir sikap apatis, frustrasi, hingga siklus pengajaran yang hanya mengulang rutinitas---tanpa semangat, tanpa inovasi.

Karena faktanya, idealisme tak bisa membayar cicilan motor. Panggilan jiwa tak bisa menukar tabung gas yang habis. Dan dedikasi tak bisa diserahkan ke kasir ketika belanja bulanan di minimarket.

Bukankah sudah saatnya kita berhenti menuntut guru untuk menjadi pahlawan, jika kita sendiri tak berniat memperlakukan mereka sebagai manusia seutuhnya?

Guru: Antara Martabat dan Martabak

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun