Ketegangan di Tengah Penertiban
Penggusuran lahan serta penertiban area oleh KDM kembali mendapatkan perhatian besar dari masyarakat setelah beberapa kawasan pemukiman padat di pinggiran kota ditertibkan dengan cara paksa. KDM (Kota Dalam Manajemen), sebagai organisasi yang mengelola kawasan perkotaan, berargumentasi bahwa tindakan ini diambil untuk penataan ruang dan pengembangan yang berkelanjutan.
Namun, bagi komunitas yang terdampak, penggusuran tersebut tidak sekadar masalah penataan kota. Banyak di antara mereka kehilangan rumah, sumber penghasilan, dan rasa aman yang selama ini menyertai kehidupan mereka. Permasalahan ini juga memicu kritik dari berbagai pihak, termasuk aktivis, LSM, dan kalangan akademisi yang menilai tindakan penertiban tanah oleh KDM ini tidak memperhatikan aspek kemanusiaan dan kurang mengedepankan dialog.
Legalitas dan Polemik Status Kepemilikan Tanah
KDM berdalih bahwa tanah yang mereka tertibkan umumnya berstatus ilegal, tidak memiliki surat kepemilikan yang sah, atau berada di atas lahan negara. Berdasarkan Perda dan sejumlah regulasi daerah, mereka berhak melakukan penertiban tanah yang digunakan tanpa izin resmi demi mengembalikan fungsi ruang publik atau proyek strategis pemerintah.
Namun, di sisi lain, warga menilai bahwa mereka telah menempati lahan tersebut selama puluhan tahun. Banyak yang menunjukkan bukti pembayaran PBB, rekening listrik resmi, dan KTP beralamat di lokasi tersebut sebagai tanda pengakuan negara atas keberadaan mereka. Perdebatan ini memperlihatkan celah hukum yang sering dimanfaatkan untuk melanggengkan penggusuran lahan secara paksa.
Dampak Sosial Ekonomi Penggusuran
Dampak dari pengosongan lahan oleh KDM sangat dirasakan, khususnya oleh kelompok masyarakat berpenghasilan rendah. Banyak orang yang kehilangan tempat tinggal tanpa mendapatkan kompensasi yang memadai. Pendidikan anak-anak menjadi terhambat, usaha kecil hancur, dan hubungan sosial antarwarga menjadi terputus akibat pemindahan yang tiba-tiba.
Lebih lanjut, dampak psikologis juga menimpa para korban pengosongan. Banyak dari mereka yang mengalami stres, depresi, hingga kehilangan rasa identitas karena terpaksa meninggalkan lingkungan tempat tinggal mereka. Penertiban lahan yang dilakukan tanpa memperhatikan aspek sosial justru memperburuk kesenjangan di kota.
BACA JUGA : Polemik ormas di nusantara yang semakin meresahkan masyarakat
Respons Pemerintah dan Reaksi Publik
Pemerintah daerah menyatakan bahwa tindakan KDM telah sesuai prosedur. Dalam beberapa konferensi pers, pejabat menyebut bahwa warga telah diberi waktu sosialisasi dan peringatan jauh-jauh hari sebelum eksekusi dilakukan. KDM juga menyatakan telah menyediakan rumah susun (rusun) sebagai tempat relokasi.
Meski begitu, publik tetap menyoroti pendekatan yang dinilai kaku dan represif. Video viral yang menunjukkan aparat merobohkan rumah warga sambil menangis menambah amarah netizen. Sejumlah kalangan meminta KDM dan pemerintah untuk mengedepankan dialog dan memperbaiki mekanisme penertiban tanah agar lebih manusiawi dan adil.
Analisis dari Perspektif Hak Asasi dan Urbanisasi
Dalam konteks HAM, penggusuran paksa tanpa penyediaan alternatif layak dianggap pelanggaran terhadap hak atas tempat tinggal yang layak. Komnas HAM bahkan pernah menyampaikan rekomendasi kepada pemerintah agar proses penggusuran lahan dilakukan secara partisipatif, transparan, dan adil.
Urbanisasi yang cepat membuat tekanan terhadap ruang kota makin besar. Namun, penataan kota seharusnya tidak dijadikan dalih untuk mengorbankan masyarakat marginal. KDM perlu menyeimbangkan kepentingan pembangunan dengan perlindungan sosial agar penertiban tanah tidak berubah menjadi perampasan hak rakyat kecil.