Mohon tunggu...
Asep Sukarna
Asep Sukarna Mohon Tunggu... Freelancer

Penjaga aroma yang tidak pernah selesai. Menulis bukan untuk menjelaskan, apalagi mengejar rating. Aku menulis hanya untuk menyeduh waktu.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Bab 4 Memo Tubuh dalam Perjalanan

3 Agustus 2025   03:33 Diperbarui: 19 Agustus 2025   04:42 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jeruklegi ia lalui dengan cepat. Aroma terasi dan sabut kelapa menyusup ke helm. Ia melewati pasar, melihat ibu tua menata daun salam dan sambal hangat. Tubuh tak ingin membeli, hanya mencium. Di kebun pinggir desa, seseorang menyebut Nyai Roro Kidul dan Tuk Bima Lukar---mata air dari air kencing Bima. Ia tak cari bukti, dingin angin menyentuh tengkuknya seperti sapaan gaib tanpa tuntutan percaya.

Menjelang Cilacap, jalan lurus dan sepi. R27 melaju pelan, suara knalpot menyatu dengan pelumas Korea dari barak dulu. Ia melihat papan proyek tua roboh dan jalan masuk kawasan industri yang dijaga petugas baru.

Ia tiba di kota dinihari. Lampu Hotel Mutiara temaram, menyala pelan di bawah nama yang tak pernah diganti sejak 1984. Resepsionis muda menyapa, suaranya ramah tapi tidak menyimpan sejarah. Lobi sunyi, karpet tua mengandung aroma hujan pertama dan suara langkah tamu proyek yang tak kembali.

Kamar 104---single bed ukuran King Size, seprai putih tidak wangi baru, selimut tipis terlipat rapi. Raka duduk di kursi plastik dekat jendela, meletakkan memo lama, membuka lipatan, membacanya dalam cahaya luar. Karpet berbau basah, dinding menyimpan sisa suara AC tua yang tak lagi berderit, tapi tetap bernapas.

Antara Agustus 1996 dan Maret 1997, ia jadi subkontraktor proyek Pabrik Semen Nusantara---di bawah Sukwon Industrial Co. Ltd. Ia ingat helm berat, jam kerja panjang, larangan bicara saat instalasi malam, dan kopi pahit tanpa gula. Ia ingat bau kimchi dari makan malam teknisi asing---aroma tak menyatu tapi tetap tinggal.

Jendela dibuka. Udara dinihari masuk pelan. Serayu mengalir tak terlihat, tapi tubuhnya tahu: sungai masih berdetak.

Memo belum selesai. Tapi tubuh sudah tiba. Mungkin Raka akan tinggal satu-dua hari di Cilacap, sekadar melacak jejak tubuh yang pernah tertinggal. Ia tak cari apa-apa, hanya diam di kota yang dulu menyimpan berat dan aroma yang belum bisa dikatakan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun