Mohon tunggu...
Asep Setiawan
Asep Setiawan Mohon Tunggu... Membahasakan fantasi. Menulis untuk membentuk revolusi. Dedicated to the rebels.

Nalar, Nurani, Nyali. Curious, Critical, Rebellious. Mindset, Mindmap, Mindful

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Analisis Risiko Kopdes Merah Putih dalam Konteks Penempatan Dana Pemerintah di Himbara dan Pelajaran dari Kasus BLBI

24 September 2025   13:10 Diperbarui: 24 September 2025   13:10 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Ketika fakta BLBI ini ditempatkan sejajar dengan kebijakan Rp200 triliun melalui Program Koperasi Merah Putih, bayangan sejarah seakan kembali: dua-duanya sama-sama lahir dari niat menjaga stabilitas dan pemerataan ekonomi, tetapi sama-sama rawan jatuh ke jurang kegagalan jika aspek tata kelola dan partisipasi riil diabaikan.

IV. Analisis Perbandingan KopDes Merah Putih dan BLBI

A. Kesamaan: Top--Down, Distribusi Dana Jumbo, Minim Feasibility Study, Risiko Penyalahgunaan

Meski lahir dari konteks sejarah yang berbeda, Program Koperasi Merah Putih (2024--2025) dan BLBI (1997--1998) memiliki pola yang mengejutkan serupa: keduanya merupakan kebijakan dengan skala dana jumbo yang digulirkan secara cepat, top--down, dan tanpa didahului studi kelayakan yang memadai.

1. Pendekatan Top--Down
BLBI digulirkan dari pusat (Bank Indonesia dan pemerintah) langsung ke bank-bank swasta, tanpa mekanisme deliberasi publik atau kajian terbuka.
KopDes Merah Putih pun lahir dari kebijakan pusat dengan target masif 80 ribu koperasi desa/kelurahan, di mana desa diminta membentuk koperasi secara serentak. Dalam kedua kasus, inisiatif lahir dari birokrasi, bukan dari kebutuhan organik pelaku ekonomi.
2. Distribusi Dana Jumbo
BLBI menyalurkan Rp147,7 triliun ke 48 bank dalam kurun singkat, skala yang kala itu setara dengan hampir 15% PDB Indonesia 1998.
KopDes Merah Putih mengandalkan Rp200 triliun penempatan dana di Himbara, dengan leverage hingga Rp600 triliun, salah satu injeksi fiskal terbesar dalam sejarah Indonesia di luar stimulus Covid-19.
Besarnya dana dalam waktu singkat menciptakan tekanan penyaluran cepat, yang pada gilirannya meningkatkan risiko moral hazard.
3. Minim Feasibility Study
Audit BPK terhadap BLBI menunjukkan tidak ada uji kelayakan yang ketat atas solvabilitas bank penerima; banyak bank sudah sakit kronis bahkan sebelum dana digelontorkan.
KopDes Merah Putih pun digerakkan tanpa kajian rinci soal kapasitas kelembagaan desa, potensi ekonomi lokal, atau model bisnis koperasi. Proses pendirian ribuan koperasi baru dilakukan lebih mirip proyek administratif ketimbang pembangunan kelembagaan berkelanjutan.
4. Risiko Penyalahgunaan
BLBI berakhir dengan 95% dana disalahgunakan, mayoritas dialihkan untuk kepentingan pemilik bank, bukan penyelamatan deposan.
KopDes Merah Putih, meski belum terbukti secara empiris, memikul risiko serupa: koperasi papan nama yang hanya menjadi saluran dana, pengurus tanpa kapasitas manajerial, dan potensi intervensi politik dalam alokasi modal.
Kesamaan pola ini memperlihatkan bahwa Indonesia berhadapan dengan problem struktural berulang: ketika dana jumbo dilepas tanpa prasyarat tata kelola yang ketat, peluang penyalahgunaan jauh lebih besar daripada peluang keberhasilan. Sejarah BLBI menunjukkan bahwa good intention saja tidak cukup; tanpa desain pengawasan yang solid, kebijakan top--down justru bisa memperburuk beban fiskal dan melemahkan kepercayaan publik.

Dengan demikian, risiko terbesar KopDes Merah Putih bukan hanya soal kegagalan koperasi itu sendiri, melainkan potensi menciptakan "BLBI jilid dua" dengan wajah berbeda: dari bank swasta ke koperasi desa.

B. Perbedaan: BLBI dalam Konteks Krisis Moneter; KopDes Merah Putih dalam Konteks Pembangunan Politik-Ekonomi

Meskipun terdapat kesamaan pola top--down, distribusi dana jumbo, dan lemahnya studi kelayakan, penting menegaskan bahwa BLBI (1997--1998) dan KopDes Merah Putih (2024--2025) lahir dari konteks sejarah dan motif politik-ekonomi yang berbeda.

1. Konteks Makroekonomi
BLBI: Diluncurkan pada puncak krisis moneter Asia 1997--1998, ketika rupiah terdepresiasi hingga lebih dari 80%, inflasi mencapai dua digit, dan sistem perbankan nasional berada di ambang kehancuran. BLBI adalah respon darurat untuk menghindari bank run total dan menjaga fungsi pembayaran nasional.
KopDes Merah Putih: Muncul bukan dalam kondisi krisis makro, melainkan dalam agenda pembangunan jangka panjang: pemerataan ekonomi desa, penciptaan lapangan kerja, dan penguatan ekonomi rakyat. Dengan demikian, program ini tidak bersifat emergency response, melainkan political economy project.
2. Aktor Utama
BLBI: Didorong oleh teknokrat keuangan, IMF, dan otoritas moneter yang berfokus pada stabilitas sistemik. Aktor utamanya adalah bank swasta penerima likuiditas.
KopDes Merah Putih: Digagas oleh pemerintah (Kemenkeu, Kemenkop UKM, Himbara) dan berorientasi pada desa serta koperasi baru. Aktor utamanya bukan entitas lama yang mapan, melainkan institusi yang sebagian besar masih harus dibentuk dari nol.
3. Orientasi Politik
BLBI: Hampir steril dari politik elektoral karena dikelola dalam konteks krisis yang dikawal ketat oleh IMF dan lembaga keuangan internasional. Namun, hasilnya tetap sarat oligarki karena bank milik konglomerat besar yang paling banyak menikmati dana.
KopDes Merah Putih: Tidak bisa dilepaskan dari dinamika politik elektoral pasca-2024, di mana pembentukan 80 ribu koperasi desa/kelurahan berpotensi menciptakan jejaring ekonomi-politik baru yang dapat dimobilisasi secara elektoral.
4. Risiko Sistemik vs Risiko Struktural
BLBI: Risiko utama adalah sistemik, yakni kehancuran perbankan yang bisa menjatuhkan seluruh perekonomian nasional.
KopDes Merah Putih: Risiko utamanya lebih struktural, yakni lahirnya koperasi-koperasi kosmetik yang gagal memberikan manfaat nyata kepada anggota. Jika gagal, beban fiskalnya mungkin tidak seketika sebesar BLBI, tetapi implikasi jangka panjangnya adalah hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap koperasi dan makin jauhnya mimpi ekonomi kerakyatan.
Dengan demikian, perbedaan mendasar ini menegaskan bahwa BLBI adalah respon terhadap krisis global, sedangkan KopDes Merah Putih adalah rekayasa politik-ekonomi domestik. Namun, meskipun berbeda konteks, keduanya menghadapi tantangan inti yang sama: bagaimana memastikan tata kelola dana jumbo agar tidak berubah menjadi skandal keuangan nasional.

C. Diskusi tentang Potensi Koperasi Papan Nama vs Bank Zombie Era BLBI

Salah satu ironi sejarah ekonomi Indonesia adalah kemunculan entitas semu dalam skema penyaluran dana jumbo. Pada era BLBI, fenomena ini muncul dalam bentuk "bank zombie", sementara pada era KopDes Merah Putih ancaman serupa berwujud "koperasi papan nama."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun