Mohon tunggu...
Asep Setiawan
Asep Setiawan Mohon Tunggu... Membahasakan fantasi. Menulis untuk membentuk revolusi. Dedicated to the rebels.

Nalar, Nurani, Nyali. Curious, Critical, Rebellious. Mindset, Mindmap, Mindful

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Analisis Risiko Kopdes Merah Putih dalam Konteks Penempatan Dana Pemerintah di Himbara dan Pelajaran dari Kasus BLBI

24 September 2025   13:10 Diperbarui: 24 September 2025   13:10 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Hanya sekitar 30% yang rutin melaksanakan RAT sesuai aturan.
Tingkat kredit bermasalah pada koperasi simpan pinjam masih tinggi (6--8%, BPS 2022).
Kontribusi koperasi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) stagnan di kisaran 4,5--5%, jauh di bawah kontribusi UMKM yang mencapai lebih dari 60%.
Data ini menunjukkan adanya jurang kelembagaan: jumlah koperasi di Indonesia tidak berbanding lurus dengan kualitas dan daya tahannya. Banyak koperasi mati suri karena tidak memberikan manfaat nyata bagi anggotanya, dan banyak pula yang berdiri hanya sebagai wadah untuk mendapatkan akses dana, bukan sebagai sarana pemberdayaan ekonomi.

Dalam konteks Koperasi Merah Putih, fakta ini menimbulkan risiko besar. Jika ribuan koperasi baru didirikan secara serentak, tanpa basis anggota yang kuat, kemungkinan besar mereka akan menambah daftar koperasi "mati suri" dalam beberapa tahun ke depan. Hal ini mengulang pola yang sama: koperasi top-down yang lahir karena dorongan proyek, bukan kebutuhan riil anggota, cenderung tidak berkelanjutan.

Dengan kata lain, fakta empiris jumlah koperasi aktif vs. mati di Indonesia memberi alarm dini: penempatan dana Rp200 triliun melalui jalur koperasi bisa berakhir seperti mengisi air ke dalam ember bocor---besar di awal, tetapi menyusut tanpa hasil nyata bagi rakyat.

C. Dari 127 Ribu Koperasi (2023), Hanya 40% yang Aktif

Meskipun koperasi secara konstitusional ditempatkan sebagai "soko guru perekonomian nasional", data menunjukkan adanya kesenjangan besar antara idealisme dan kenyataan. Menurut Kementerian Koperasi dan UKM (Kemenkop UKM, 2023), terdapat sekitar 127 ribu koperasi terdaftar di Indonesia. Namun, dari jumlah tersebut hanya sekitar 40--45% yang dinyatakan aktif, yaitu benar-benar menjalankan kegiatan usaha, memiliki anggota yang berpartisipasi, dan melaksanakan Rapat Anggota Tahunan (RAT).

Artinya, lebih dari setengah koperasi di Indonesia berstatus tidak aktif atau mati suri. Kategori ini umumnya ditetapkan jika koperasi:

1. Tidak pernah melaksanakan RAT dalam 3 tahun berturut-turut.
2. Tidak memiliki laporan keuangan atau usaha yang jelas.
3. Anggota hanya tercatat di atas kertas, tanpa keterlibatan nyata.
Fenomena ini bukan hal baru. Pembersihan data koperasi yang dilakukan sejak 2016 menemukan bahwa banyak koperasi berdiri bukan karena kebutuhan ekonomi anggotanya, melainkan karena dorongan proyek pemerintah. Pola "koperasi papan nama" ini berulang kali terjadi: koperasi didirikan untuk menyalurkan bantuan, dana hibah, atau program kredit, tetapi berhenti berfungsi begitu aliran dana berakhir.

Secara struktural, koperasi di Indonesia menghadapi tiga masalah utama:

Partisipasi anggota rendah banyak koperasi berdiri formal tanpa basis komunitas yang solid.
Manajemen lemah pengurus sering tidak memiliki kapasitas profesional dalam akuntansi maupun tata kelola.
Kelembagaan rapuh pengawasan hanya administratif, sementara pengendalian internal tidak berjalan.
Konsekuensinya, kontribusi koperasi terhadap perekonomian nasional tidak sebanding dengan jumlahnya. Meski ada 127 ribu koperasi, kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) stagnan di kisaran 4,5--5% dalam satu dekade terakhir. Bandingkan dengan UMKM non-koperasi yang menyumbang lebih dari 60% PDB.

Dalam konteks Koperasi Merah Putih, fakta ini memberi peringatan keras. Jika ribuan koperasi baru didirikan dengan pola top-down, maka probabilitas besar mereka akan bergabung ke dalam mayoritas koperasi yang tidak aktif. Dengan demikian, penempatan dana Rp200 triliun melalui mekanisme ini berpotensi besar menjadi intervensi fiskal yang tidak produktif, mengulang kesalahan BLBI: dana jumbo yang keluar dari kas negara, tetapi manfaatnya tidak pernah benar-benar dirasakan masyarakat luas.

D. Studi Kasus Pendirian Koperasi Merah Putih: Target 80 Ribu Koperasi Desa/Kelurahan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun