Mohon tunggu...
Asep Setiawan
Asep Setiawan Mohon Tunggu... Membahasakan fantasi. Menulis untuk membentuk revolusi. Dedicated to the rebels.

Nalar, Nurani, Nyali. Curious, Critical, Rebellious. Mindset, Mindmap, Mindful

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Analisis Risiko Kopdes Merah Putih dalam Konteks Penempatan Dana Pemerintah di Himbara dan Pelajaran dari Kasus BLBI

24 September 2025   13:10 Diperbarui: 24 September 2025   13:10 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Kasus BLBI 1997--1998 adalah contoh klasik moral hazard. Bank-bank swasta yang sudah lemah dalam tata kelola tetap mengambil risiko tinggi karena yakin negara tidak akan membiarkan mereka runtuh. Ketika krisis moneter menghantam, keyakinan itu terbukti benar: pemerintah menggelontorkan Rp147,7 triliun, tetapi justru memperkuat perilaku menyimpang. Audit kemudian menemukan sebagian besar dana digunakan untuk kepentingan pemilik bank, bukan untuk menyehatkan sistem perbankan.

Dalam literatur keuangan publik, moral hazard dikategorikan dalam tiga bentuk utama:

1. Soft budget constraint problem (Kornai, 1986) ketika lembaga atau perusahaan terbiasa diselamatkan negara, mereka kehilangan disiplin fiskal.
2. Too big to fail doctrine (Krugman, 1998) lembaga keuangan besar tahu pemerintah akan turun tangan jika mereka terancam bangkrut, sehingga risiko diambil secara berlebihan.
3. Bailout expectation ekspektasi terhadap intervensi pemerintah membentuk perilaku oportunistik jangka panjang.
Relevansi teori ini sangat nyata ketika menilai kebijakan penempatan Rp200 triliun di Himbara untuk Program Koperasi Merah Putih. Jika koperasi berdiri secara artifisial, tanpa basis anggota yang solid dan tanpa prinsip kemandirian modal, maka potensi moral hazard semakin tinggi. Koperasi bisa menganggap bahwa dana murah dari negara adalah hak, bukan amanah; bahwa kegagalan manajemen tidak akan menimbulkan konsekuensi serius karena beban akan kembali ditanggung pemerintah.

Dengan demikian, moral hazard menjadi lensa kritis untuk membaca risiko kebijakan ini: apakah injeksi dana ke koperasi akan mendorong transformasi ekonomi rakyat, atau justru memperkuat budaya ketergantungan dan pelemahan tata kelola yang sudah lama menjadi masalah klasik koperasi di Indonesia?

C. Konsep Governance Failure dalam Organisasi Ekonomi Rakyat

Jika moral hazard menyoroti perilaku oportunistik akibat adanya jaring pengaman negara, maka konsep governance failure menyoroti lemahnya sistem pengelolaan dan kelembagaan yang seharusnya mencegah perilaku tersebut. Dalam literatur ekonomi kelembagaan, governance dipahami sebagai seperangkat mekanisme formal maupun informal yang memastikan organisasi berjalan sesuai dengan tujuan kolektifnya---mulai dari regulasi, transparansi, hingga mekanisme akuntabilitas internal.

Pada organisasi ekonomi rakyat seperti koperasi, governance failure kerap muncul dalam tiga bentuk utama:

1. Asimetri Informasi Internal
Anggota koperasi sering tidak memiliki akses memadai terhadap laporan keuangan maupun keputusan strategis pengurus. Ketika pengurus memonopoli informasi, relasi demokratis "satu anggota, satu suara" menjadi sekadar formalitas. Fenomena ini tercermin dalam banyak kasus koperasi bermasalah di Indonesia, dari koperasi simpan pinjam hingga koperasi konsumen, yang akhirnya gagal karena anggota tidak pernah benar-benar mengetahui kondisi finansial organisasi.
2. Weak Accountability Mechanisms
Akuntabilitas dalam koperasi seharusnya dijaga melalui rapat anggota tahunan (RAT). Namun, data Kementerian Koperasi dan UKM menunjukkan bahwa hanya sekitar 30% koperasi aktif yang secara konsisten melaksanakan RAT. Ketiadaan forum akuntabilitas ini membuka ruang luas bagi penyalahgunaan dana anggota, salah kelola investasi, hingga praktik pengurus yang memperlakukan koperasi layaknya usaha pribadi.
3. Regulatory and Supervisory Gaps
Koperasi kerap berada di wilayah abu-abu regulasi: bukan sepenuhnya entitas privat seperti PT, tetapi juga tidak diawasi ketat seperti bank. Misalnya, OJK tidak memiliki yurisdiksi langsung terhadap koperasi simpan pinjam, sementara kementerian hanya melakukan pengawasan administratif terbatas. Akibatnya, terjadi kekosongan pengawasan substantif terhadap risiko sistemik maupun integritas keuangan koperasi.
Dalam kerangka teori kelembagaan Douglass North (1990), governance failure ini dapat dipahami sebagai kegagalan membangun rules of the game yang efektif. Ketika aturan main tidak jelas atau tidak ditegakkan, perilaku oportunistik menjadi rasional, bahkan sistemik.

Jika dikaitkan dengan Koperasi Merah Putih, risiko governance failure semakin besar mengingat:

Basis keanggotaan masih lemah atau bahkan belum terbangun secara organik.
Dana awal berasal dari negara, bukan dari kontribusi anggota.
Pengawasan melekat lebih bernuansa politik daripada teknokratis.
Kombinasi ketiga faktor tersebut membuat Koperasi Merah Putih rawan menjadi "koperasi papan nama"---ada secara administratif untuk menyalurkan dana, tetapi rapuh secara kelembagaan. Jika dibiarkan, pola ini dapat menjadi pengulangan dari kegagalan koperasi di masa lalu, yang hanya berumur pendek, tidak memberi manfaat nyata bagi anggota, dan justru menciptakan beban fiskal baru bagi negara.

Dengan kata lain, governance failure dalam koperasi bukan sekadar risiko teknis, melainkan ancaman sistemik terhadap cita-cita ekonomi kerakyatan yang seharusnya menjadi landasan kebijakan publik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun