A. Prinsip Koperasi menurut UU 25/1992 dan International Cooperative Alliance (ICA)
Koperasi dalam konteks ekonomi Indonesia bukanlah sekadar bentuk organisasi, melainkan amanat konstitusi. Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Konsep inilah yang kemudian diwujudkan dalam koperasi sebagai "soko guru perekonomian nasional."
Secara hukum positif, koperasi diatur melalui Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. Pasal 5 UU ini menegaskan bahwa koperasi berlandaskan pada asas kekeluargaan dan gotong royong, sementara Pasal 4 menguraikan tujuan koperasi: memajukan kesejahteraan anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya.
Lebih jauh, Pasal 5 UU 25/1992 menyebutkan prinsip-prinsip dasar koperasi yang meliputi:
1. Keanggotaan bersifat sukarela dan terbuka.
2. Pengelolaan dilakukan secara demokratis.
3. Pembagian sisa hasil usaha (SHU) dilakukan secara adil sebanding dengan besarnya jasa usaha masing-masing anggota.
4. Pemberian balas jasa yang terbatas terhadap modal.
5. Kemandirian.
Prinsip-prinsip ini selaras dengan standar internasional yang ditetapkan oleh International Cooperative Alliance (ICA), yang sejak tahun 1995 merumuskan Tujuh Prinsip Koperasi sebagai berikut:
1. Keanggotaan sukarela dan terbuka (Voluntary and Open Membership).
2. Pengendalian demokratis oleh anggota (Democratic Member Control).
3. Partisipasi ekonomi anggota (Member Economic Participation).
4. Kemandirian dan otonomi (Autonomy and Independence).
5. Pendidikan, pelatihan, dan informasi (Education, Training, and Information).
6. Kerja sama antar koperasi (Cooperation among Cooperatives).
7. Kepedulian terhadap komunitas (Concern for Community).
Bila dicermati, baik UU 25/1992 maupun prinsip ICA menekankan bahwa koperasi adalah organisasi bottom--up, lahir dari kebutuhan nyata anggotanya, bukan sekadar proyek kebijakan dari atas. Keanggotaan bukan hanya syarat administratif, melainkan esensi koperasi: anggota adalah pemilik, pengguna jasa, sekaligus penentu arah organisasi.
Dalam perspektif teori organisasi ekonomi, prinsip koperasi ini memastikan adanya tiga jaminan fundamental:
Legitimasi sosial (karena didirikan oleh kebutuhan riil anggota).
Akuntabilitas demokratis (satu anggota, satu suara).
Keberlanjutan ekonomi (karena bergantung pada kontribusi dan partisipasi anggota, bukan injeksi eksternal semata).
Dengan demikian, setiap program yang mengatasnamakan koperasi, termasuk Koperasi Merah Putih, pada dasarnya harus diuji berdasarkan kesesuaiannya dengan prinsip-prinsip tersebut. Jika tidak, maka risiko kegagalan manajerial, lemahnya akuntabilitas, dan absennya manfaat nyata bagi anggota akan menjadi konsekuensi yang sulit dihindari.
B. Teori Moral Hazard dalam Kebijakan Fiskal dan Keuangan
Konsep moral hazard pertama kali mengemuka dalam teori asuransi: ketika seseorang yang merasa dirinya terlindungi asuransi cenderung bertindak lebih berisiko, karena konsekuensi kerugian tidak lagi sepenuhnya ditanggung sendiri. Seiring perkembangan, konsep ini menjadi salah satu pilar penting dalam studi ekonomi, khususnya dalam kebijakan fiskal dan keuangan publik.
Dalam konteks kebijakan fiskal, moral hazard terjadi ketika aktor ekonomi---baik individu, korporasi, maupun lembaga keuangan---mengetahui bahwa risiko kerugian mereka dapat dialihkan kepada negara. Hal ini mendorong perilaku oportunistik: bukannya berbenah, mereka justru memaksimalkan keuntungan jangka pendek sambil menanggung risiko minimal, karena pada akhirnya pemerintah (dan pada gilirannya, masyarakat pembayar pajak) yang menutup kerugian.