Dimensi ini adalah fondasi Harimau.
Lukanya bukan trauma dalam arti patologis, tapi rekaman memori strategis---sejarah siapa yang pernah mengganggu, bagaimana cara mereka melakukannya, dan dalam konteks apa.
Tidak seperti orang dengan trauma yang terus dihindari, Harimau justru mengarsipkan luka untuk:
menghindari pengulangan,
merancang balasan (bila perlu),
membentuk sistem deteksi dini terhadap manipulasi atau ancaman.
"Gue ingat semua, tapi bukan untuk diratapi. Buat dipakai."
2. Moralitas Batasan
Harimau tidak membenci dunia. Ia tidak menyerang acak. Tapi ia punya batasan moral yang teguh dan tak bisa dinegosiasikan, walau tidak selalu diungkapkan secara eksplisit.
Beberapa contohnya:
"Lo boleh salah, tapi jangan ulangi dua kali."
"Lo boleh minta maaf, tapi gue yang mutusin apakah itu cukup."
"Kalau lo nyentuh wilayah batin gue, lo udah masuk zona merah."
Moralitas Harimau bukan tentang benar atau salah secara universal, tapi tentang loyalitas, kepercayaan, dan rasa hormat terhadap ruang batin.
3. Waspada-Terbuka
Ini dimensi paradoksal Harimau. Ia bisa sangat terbuka---bersahabat, membantu, bahkan loyal. Tapi semua itu selalu dijalankan dengan radar aktif.
"Gue gak pernah 100% matiin sistem pertahanan gue."
Keterbukaan Harimau adalah strategi: untuk membangun aliansi, mempercepat adaptasi sosial, atau meredakan ketegangan. Tapi ia tidak pernah benar-benar melonggarkan kewaspadaan terhadap potensi pengkhianatan, bahkan dari orang yang paling manis sekalipun.
4. Perhitungan Risiko Emosional