Sebagai respons atas kekosongan ini, muncul gelombang pencarian spiritualitas baru, dari meditasi, self-help, hingga spiritualitas ekologis. Fenomena ini mencerminkan kebutuhan mendalam manusia untuk mengaitkan hidupnya dengan sesuatu yang lebih besar dari sekadar performa individual: sebuah makna kosmik, nilai kolektif, atau rasa keterhubungan universal.
Perlunya Metode yang Sistematis namun Humanistik
Meskipun pencarian ini positif, banyak orang terjebak dalam jalan yang kabur: antara spiritualitas instan yang semu, hingga pencarian makna yang abstrak tanpa arah implementatif. Dibutuhkan pendekatan yang lebih sistematis namun humanistik, yaitu metode yang:
1. Mengakar pada keutuhan manusia (akal, emosi, nilai, dan relasi ekologis),
2. Berbasis pada refleksi mendalam, bukan sekadar motivasi sesaat,
3. Terstruktur namun fleksibel, agar bisa diterapkan lintas latar belakang budaya, agama, dan profesi,
4. Menggabungkan dimensi individu dan semesta, agar makna hidup tidak hanya bersifat ego-sentris, tapi juga kosmo-sentris.
Inilah yang melatarbelakangi lahirnya konsep MIKIR, metode lima langkah untuk membantu individu menemukan kembali makna dan peran hidupnya di tengah kebisingan dunia modern. MIKIR tidak menawarkan jawaban siap pakai, tetapi peta untuk menjelajah diri, peran sosial, dan keterhubungan kosmis dengan arah yang jernih dan bernilai.
II. Latar Teoretis: Makna dalam Filsafat dan Spiritualitas
Krisis Eksistensial dalam Filsafat: Dari Sartre hingga Frankl dan Kierkegaard
Sejak abad ke-19 hingga pasca Perang Dunia II, para pemikir eksistensialis menggugat ulang seluruh bangunan filsafat tentang hidup manusia. Jean-Paul Sartre, filsuf Prancis ateis, menyatakan bahwa "eksistensi mendahului esensi", Â artinya, manusia tidak dilahirkan dengan tujuan tertentu, melainkan harus menciptakan makna hidupnya sendiri. Namun, kebebasan ini menyimpan paradoks: tanpa fondasi absolut, manusia rentan terjebak dalam absurditas dan kehampaan.