Mohon tunggu...
Asep Setiawan
Asep Setiawan Mohon Tunggu... Membahasakan fantasi. Menulis untuk membentuk revolusi. Dedicated to the rebels.

Nalar, Nurani, Nyali. Curious, Critical, Rebellious. Mindset, Mindmap, Mindful

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

MIKIR: Metode Baru Menemukan Makna dan Peran Hidup dalam Pekerjaan dan Pendidikan

20 April 2025   13:06 Diperbarui: 20 April 2025   13:06 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lyfe. Sumber ilustrasi: FREEPIK/8photo

MIKIR: Metode Baru Menemukan Makna dan Peran Hidup di Era Kekacauan Eksistensial

Di tengah banjir informasi, kecemasan kolektif, dan krisis identitas zaman ini, manusia justru kehilangan yang paling fundamental: makna. Banyak yang bekerja keras, namun merasa kosong. Berpendidikan tinggi, namun kehilangan arah. Lalu, bagaimana cara menemukan kembali makna dan peran kita di dunia?

Artikel ini memperkenalkan konsep MIKIR, sebuah metode reflektif yang menggabungkan filsafat eksistensial, psikologi positif, spiritualitas kosmis, dan etika semesta (maqasid al-khalq) dalam lima langkah sistematis. Bukan sekadar teori, MIKIR hadir sebagai peta jiwa yang bisa diikuti siapa saja untuk menyalakan kembali nyala hidupnya.

I. Pendahuluan: Krisis Makna di Era Modern

Disorientasi Generasi Digital: Punya Banyak Pilihan tapi Merasa Kehilangan Tujuan

Kita hidup di zaman dengan akses tak terbatas terhadap informasi, peluang, dan pilihan gaya hidup. Generasi sekarang bisa belajar apa pun secara daring, bekerja dari mana saja, dan menjalin koneksi global tanpa batas. Namun ironisnya, semakin banyak pilihan yang tersedia, semakin besar pula kebingungan yang dirasakan.

Fenomena ini disebut oleh psikolog Barry Schwartz sebagai the paradox of choice: ketika terlalu banyak pilihan justru menimbulkan kecemasan, keraguan, dan akhirnya stagnasi. Alih-alih merasa bebas, banyak anak muda merasa terbebani oleh tekanan untuk "menjadi sesuatu" tanpa tahu "siapa dirinya." Media sosial memperparah keadaan, memunculkan highlight reel kehidupan orang lain yang membentuk ekspektasi palsu, menciptakan ilusi kesuksesan instan dan membungkam kegagalan sebagai bagian dari proses.

Dalam konteks ini, muncul generasi yang serba bisa secara teknologi namun merasa buta arah secara eksistensial. Mereka pintar, adaptif, tetapi mudah kehilangan semangat ketika makna tak menyertai aktivitas sehari-hari. Inilah yang disebut sebagai krisis makna: ketika hidup menjadi serangkaian kegiatan produktif tanpa ruh, kerja keras tanpa visi, dan kebebasan tanpa arah.

Fenomena Quiet Quitting, Existential Burnout, dan Pencarian Spiritualitas Baru

Krisis makna ini tidak hanya bersifat filosofis; ia telah menjelma menjadi fenomena sosial global. Salah satunya adalah quiet quitting, tren di mana seseorang tetap bekerja tetapi hanya menjalankan tugas minimum, tanpa semangat atau inisiatif. Ini bukan sekadar kemalasan, melainkan gejala kehilangan hubungan emosional dan makna dari pekerjaan.

Selanjutnya, banyak orang mengalami existential burnout: kelelahan bukan hanya karena beban kerja, tapi karena merasa apa yang dilakukan tak punya nilai intrinsik. Mereka merasa asing dalam dunia yang bergerak cepat, algoritmis, dan impersonal. Bahkan di tengah pencapaian dan kenyamanan material, kegelisahan eksistensial tetap membayangi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun