Maka, eksistensi sejati bukan hanya sekadar "ada", tetapi "ada yang terhubung, berpengaruh, dan memiliki makna dalam jaringan eksistensial".
2. Jika Sesuatu Ada tetapi Tidak Berfungsi dan Tidak Diamati, Apakah Ia Benar-benar Ada?
Pertanyaan ini membawa kita ke inti problematika ontologis: Keberadaan tanpa hubungan dan tanpa fungsi hampir tidak bisa dibedakan dari ketiadaan.
Dalam pemikiran metafisika Islam, keberadaan Tuhan disebut sebagai Wajibul Wujud, yakni keberadaan yang pasti ada, berbeda dengan segala sesuatu yang mumkinul wujud (kontingen/mungkin ada). Namun, jika kita berasumsi bahwa Tuhan ada tetapi tidak mencipta, tidak berkomunikasi, dan tidak memiliki hubungan dengan realitas lain, maka keberadaan-Nya hanya bersifat statis, bukan fungsional.
Hal ini mirip dengan perdebatan dalam fisika kuantum mengenai status realitas suatu partikel sebelum diukur. Dalam interpretasi Kopenhagen, realitas suatu partikel hanya teraktualisasi ketika diamati atau berinteraksi dengan sesuatu yang lain. Dalam konteks ini, keberadaan yang mutlak tanpa aktualisasi melalui hubungan dengan realitas lain adalah sesuatu yang problematik secara filsafat maupun sains.
Konsekuensinya, Tuhan sebagai Ada yang sejati tidak mungkin hanya ada dalam kesendirian yang absolut. Keberadaan-Nya harus memiliki fungsi ontologis, yaitu mewujud dalam penciptaan.
3. Keberadaan yang Bergantung vs. Keberadaan yang Mutlak
Ontologi membedakan antara keberadaan yang bergantung (dependent existence) dan keberadaan yang mutlak (necessary existence):
Keberadaan yang bergantung adalah sesuatu yang ada tetapi tidak bisa eksis dengan sendirinya. Ia memerlukan sebab, kondisi, atau hubungan dengan sesuatu yang lain agar tetap ada. Contohnya, manusia tidak bisa eksis tanpa lingkungan biologis yang menunjang kehidupannya.
Keberadaan yang mutlak adalah sesuatu yang ada dengan sendirinya, tidak membutuhkan sebab atau kondisi apa pun. Dalam filsafat Islam, ini hanya bisa merujuk kepada Tuhan.
Namun, jika keberadaan Tuhan benar-benar mutlak, maka pertanyaan berikut muncul: Apakah keberadaan mutlak tersebut cukup hanya dengan dirinya sendiri, ataukah ia meniscayakan sesuatu yang lain (yakni ciptaan)?