Jika penciptaan bukan sekadar aksi ilahi, tetapi suatu keharusan logis dalam struktur eksistensi, maka pertanyaan terbesar bukan lagi mengapa Tuhan menciptakan kita, tetapi apa makna keberadaan kita dalam keterhubungan dengan-Nya?
Apakah kita sekadar serpihan kesadaran yang mengapung dalam kehampaan kosmik, ataukah kita memiliki peran dalam mengaktualisasi hubungan ontologis dengan sumber segala keberadaan? Jika Tuhan tetap ada tanpa kesaksian kita, lalu mengapa kesaksian itu begitu penting?
Jawabannya terletak pada relasi eksistensial: tanpa kesadaran akan Tuhan, keberadaan kita kehilangan pijakan, terombang-ambing dalam absurditas yang tak tertaut pada realitas mutlak. Tuhan ada dengan atau tanpa kita, tetapi tanpa pengakuan kita atas-Nya, keberadaan-Nya menjadi non-real dalam dunia subjektif kita. Maka, apakah kita benar-benar ada jika kita tidak menyaksikan Dia yang Ada?
Renungkan ini: apakah keberadaanmu hanya sebatas fenomena biologis, ataukah ia memiliki makna yang melampaui dirinya sendiri? Jika keberadaan itu hanya bersandar pada dirinya, ia fana dan akan sirna. Tetapi jika ia bersandar pada sesuatu yang mutlak, maka ia menemukan makna yang tidak bisa digugurkan oleh waktu.
Pada akhirnya, eksistensi tanpa kesadaran hanyalah keberadaan yang belum tersadarkan, ibarat gelap yang tak menyadari terang. Maka, di mana dirimu berdiri dalam arus keberadaan ini? Apakah engkau sekadar ada, atau benar-benar menyaksikan?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI